Home » » Pensil untuk Cecilia

Pensil untuk Cecilia

Written By Regina Kim on Kamis, 28 Juli 2011 | 18.37

 Aku paling senang melihat senyuman manisnya. Senyuman khas anak kecil yang polos dan lucu. Senyuman yang bisa membuat semua lelahku langsung hilang dan berganti dengan sejuta sukacita. Namanya Anastasia Cecilia. Aku sering memanggilnya dengan nama Cecil.
Kalo saja sore itu aku ngga nganterin pacarku ke salah satu Rumah Sakit yang ada di daerah Tangerang, mungkin aku ngga akan kenal dia. Mengenal Cecil merupakan salah satu anugerah bagi aku. Aku belajar banyak hal dari dia. Belajar tentang hidup! Meski usianya baru 7 tahun. Pacarku pernah cemburu karena aku keasyikan ngobrol dan bercanda dengannya. Anaknya menyenangkan dan beda dari anak lainnya yang seusia dengannya.

Aku sangat senang kalo harus bisa mengantar pacarku untuk mengikuti terapi karena itu artinya aku bisa ketemu dengan Cecil. Meski di sisi lain aku juga sedih karena pacarku ngga kunjung sembuh. Tapi paling ngga dengan adanya Cecil, aku bisa melupakan sejenak kesedihanku itu.

Karena bete harus menunggu lama pacarku mengikuti terapi aku memutuskan untuk minum secangkir kopi di warung yang ada di depan Rumah Sakit. Di saat aku sedang menikmati secangkir kopi hangat, aku tanpa sengaja melihat gadis belia yang kumuh sedang bermain air got. Dia hanya sendiri.

“Hei, ngapain main air comberan?” tanya salah seorang penjual yang melihat aksinya.

Dia hanya menatap pemilik suara tersebut lalu berjalan menjauh. Dia hanya sendiri. Hati kecil ku bertanya, “kemana orang tua anak ini?”

Dengan buru-buru aku menghabiskan sisa kopi yang masih tersisa lalu membayar harga kopi itu dan langsung mengikuti langkah si bocah cantik itu.

Dia berjalan dengan langkah yang semangat sambil bernyanyi riang dan menari. Tiba-tiba dia berhenti dan menoleh ke arahku. Aku spontan menghentikan langkah kakiku. Dia tersenyum manis. Lalu dia menghampiriku.

“Kakak kenapa ikutin aku? Kakak mau lihat boneka aku ya? Nama kakak siapa?”

Astaga! Betapa ramahnya dia ama aku yang dia ngga kenal sama sekali. Apa dia ngga takut kalo gaku penculik anak?

“Kakak!” Sapaannya membuyarkan lamunanku.

Aku tersenyum kepadanya. Dia memegang tanganku.

“Kakak, namanya siapa?” tanyanya dengan senyuman manis yang menimbulkan lesung pipi di ujung kedua sisi bibirnya.


“Kak Dewantara. Kamu bisa panggil kakak dengan nama…..”

“Dewa?” potongnya cepat.
Aku hanya menganggukan kepalaku.
“Kakak mau ngga liahat bonekaku? Bonekaku lucu loh!”

“Emang bonekanya ada dimana?”
“Dirumah!”
“Kamu tinggal dimana?”
“Ikut aku aja kak. Nanti kakak akan tau! Maukan?” Ajaknya.
“Oke deh, tapi kakak ngga bisa lama-lama ya?”
“Okelah kalo begitu,” ucapnya sambil tertawa.

Aku berjalan berdampingan dengannya.
“Menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga….” suaranya yang merdu beralun menghiasi sore hari.

Aku terhenyak ketika melihat gubuk yang terbuat dari sisa seng bekas dan kayu tua yang membentuk seperti kotak besar. Disanalah Cecil tinggal bersama neneknya yang dimakan usia. Aku sendiri merasa itu bukan rumah. Bayangkan tingginya hanya satu meter dan ukurannya hanya 2×3 meter.

“Kak, aku tinggal disini ama nenek.” ucapnya tanpa malu.
Entah kenapa aku menangis.

Dia masuk lalu keluar lagi dengan sebuah boneka beruang kecil berwarna coklat.

“Kak, ini bonekaku. Kalo aku bobo pasti ditemanin ama boneka ini.”
Aku menyentuh boneka itu yang penuh dengan debu. Terdengar dari dalam suara neneknya yang batuk.

Astaga! Nenek tua yang harusnya menikmati masa tuanya harus ada ditempat yang seperti ini?

Berjalan dengan waktu, aku baru tau ternyata Kedua orang tua Cecil meninggal dunia karena kecelakaan. Dan dua bulan kemudian rumah mereka harus digusur. Satu-satunya tempat berteduh adalah gubuk kecil yang benar-benar tidak layak. Mereka hanya makan dari belas kasihan orang.

Aku memeluk Cecil. Di usianya yang masih kecil dia sudah harus merasakan kerasnya hidup ini. Karena sudah terbiasa dengan yang dialaminya makanya dia ngga merasa menderita. Dia menikmati apa yang harus dijalaninya. Dia bernyanyi dan menari. Menghafal lagu dari teman-temannya yang suka ngamen dan mereka tinggal ngga jauh dari gubuk tempatnya tinggal.

********
Tiga minggu kemudian.

“Cecil, mau sekolah ngga?”
“Mau!” jawabnya dengan mata yang bersinar-sinar.

Cecil yang ada dihadapanku jauh berbeda dari yang pertama kali aku lihat. Dia suka mencium rambut panjangnya. Sejak aku membelikannya sabun mandi dan sampo, dia tidak terlihat kumul lagi. Dia suka mencium rambutnya yang berbau sampo. Sabun mandi dan sampo seperti barang yang sangat berharga baginya. Aku tidak pernah bertanya, kapan terakhir kali dia mandi dengan memakai sabun dan sampo. Minggu lalu aku mengajaknya ke mal untuk membelikannya baju. Aku ngga mau meberikannnya baju bekas atau kata orang baju layak pakai. Karena aku merasa dia adalah adikku sendiri. Hanya saja aku tidak bisa menampungnya karena orang tuaku tidak mengizinkan.

“Tapi Cecil ngga punya pencil buat nulis?”
“Nanti kakak akan belikan untuk kamu.”
“Baju juga? Sepatu juga kan?”
“Iya!”
“Tas warna pink juga ya kak?”
“Pasti kakak belikan deh.”
“Janji?”
“Kakak janji!” kataku lalu kedua jari kelingking kami saling menyatu.

Aku memeluknya lalu kemudian memangkunya. Aku meceritakan cerita dongeng untuknya. Cerita dongeng yang tak pernah didengarnya.

“Cecil kapan sekolahnya?” tanyanya setelah aku selesai mendongeng.
“Bulan depan.”
“Kenapa ngga besok aja?”

Aku harus memutar otakku untuk mencari jawaban yang tepat.
“Karena sekolahnya baru buka pendaftaran bulan depan.”
“Pendaftaran itu apa kak?”
“Mhmmm…Pendaftaran itu nama kamu dicatat di buku.” jawabku dengan kepala yang berat mencari kata-kata yang sederhana dan dimengerti olehnya.
“Kakak…Kenapa aku ngga boleh tinggal ama kakak? Aku disini kalo malam dingin loh! Apa lagi kalo hujan.”
Astaga! Lagi-lagi aku menangis.
“Nanti kalau kakak punya rumah sendiri, kamu bisa tinggal sama kakak.”
“Kapan?”
“Satu saat nanti…”
“Ow…”
Kami diam dengan pikiran kami masing-masing.
“Kak, kapan aku bisa pegang pensil?”
“Untuk apa?”
“Aku udah ngga sabar lagi untuk belajar menulis.”
“Besok sore. Ok?”
“Janji ya? Bohong itu dosa loh!”
“Janji!”

Entah kenapa, aku senang bisa bersama dengan Cecil. Tapi yang pasti aku bahagia bisa melihat senyumnya. Aku suka dengan kepolosannya.

**********
Keesokannya ketika aku menemani pacarku untuk ikut terapi seperti biasanya tanpa sengaja aku melihat sosok gadis kecil yang aku kenal. Gadis kecil yang sedang dibawa ke UGD. Aku mencoba memastikan apa yang aku lihat.

Rasanya langit seperti runtuh dan menimpaku. Itu Cecil. Tangan kanannya penuh dengan darah. Belakangan aku baru tau kalau dia kecelakaan dan tangan kanannya terlindas ban truk sehingga dia harus diamputasi.

Kantong plastik yang berisi tas pink dan perlengkapan tulis terlepas dari tanganku. Masih terngiang dikepalaku percakapan kami kemaren.

“Kak, kapan aku bisa pegang pensil?”
“Untuk apa?”
“Aku udah ngga sabar lagi untuk belajar menulis.”

Ketika aku menjenguknya dengan pacarku keesokan harinya, aku melihat tubuh mungilnya terbaring dengan lemah. Tangan kanannya yang buntung dibalut perban. Betapa mirisnya hatiku melihat perban itu. Aku melihat tubuhnya yang pucat dan menahan rasa sakit diantara selang infus yang masih terpasang ditubuhnya.
Aku mengumpulkan semua kekuatanku hanya untuk menyapanya.
“Hallo, Cecil?”
Aku duduk di sisinya. Aku membelai rambutnya.
“Kak, tangan Cecil sakit sekali. Tangan Cecil kenapa dipotong? Kan Cecil mau nulis?”
Aku mencoba untuk menahan air mataku untuk tidak jatuh membasahi pipiku. Aku tidak boleh menangis didepan Cecil.
“Cecil pasti sembuh!” kata pacarku mencoba menghiburnya.
“Kalo Cecil sembuh itu artinya tangan Cecil tumbuh lagi ya?”

Pacarku yang berdiri dibelakangku memegang erat pundakku. Hanya Tuhan yang tau betapa perihnya hati ini melihat keadaan Cecil.
“Iya, Cecil lupa. Cecilkan bisa menulis pakai tangan kiri.” Ucapnya dengan senyuman.
Aku tidak bisa menahan air mataku untuk tidak jatuh. Aku juga merasakan tetesan air mata pacarku jatuh membasahi bahuku. Aku ngga bisa membayangkan kalo aku mengalami apa yang dialaminya. Aku mungkin bisa gila! Tapi berbeda dengan Cecil. Dia tetap optimis meski dia sendiri tidak tau arti optimis itu apa.

“Nanti kakak akan ajarin kamu menulis ya!”
“Kapan?” tanyanya.
“Kalau kamu sembuh nanti.”
“Kakak, udah belikan aku pensil?”
“Udah. Warnanya warna pink loh!”
“Kakak kenapa menangis? Aku aja yang kecil ngga nangis.”

Aku cepat-cepat menghapus air mataku demikian juga pacarku.
“Aku mau nyanyi untuk kakak, bolehkan?”
Aku hanya menganggukan kepala lau mengalunlah sebuah lagu milik Baim dan Melly Goeslaw dari bibirnya.

Awan Awan Menghitam
Langit runtuhkan dunia
Saat aku tahu ternyata akhir ku tiba
Mengapa semua menangis
Padahal ku selalu tersenyum
Usap air matamu

Aku tak ingin ada kesedihan
Burung sampaikan nada pilu
Angin terbangkan rasa sedih
Jemput bahagia diharinya
Berikan dia hidup
Tuhan terserah mau-Mu
Aku ikut mau-Mu Tuhan
Ku catat semua ceritaku
Dalam harianku

************
Share this article :

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
 
Support : Creating Website | Kisah Motivasi Hidup | Kisah Motivasi Hidup
Copyright © 2011. Kisah Motivasi Hidup - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Kisah Motivasi Hidup
Proudly powered by Blogger