Tahun 1997 adalah tahun yang luar biasa berat untuk saya. Sebuah tragedi besar terjadi dalam hidup saya oleh sebuah pengkhianatan dan fitnah yang dilakukan teman dekat saya. Tahun itu, saya baru saja terkena PHK akibat krisis moneter yang memorak porandakan perusahaan tempat saya bekerja sebelumnya. Saya terdampar di sebuah pabrik bakery yang manajemennya masih tradisional.
Saya tak hendak berkisah tentang siapa dia dan apa yang dilakukannya. Permasalahannya telah membaur dan berkelindan dengan masalah-masalah lain yang membuat keadaan bertambah keruh.
Akibat kejadian itu berikut kondisi-kondisi psikologis yang kurang baik, saya sempat mengidap penyakit semacam insomnia selama setahun lebih. Saya sangat sulit tidur. Dalam sehari, tak jarang saya hanya mampu lelap selama lima belas menit. Kadang-kadang, saya berangkat tidur jam delapan malam, namun belum juga bisa tidur hingga adzan shubuh. Ada kalanya tidur selama setengah jam di awal malam dan selebihnya, sampai pagi, jangan harap bisa pejam ini mata. Saat itu, yang saya butuhkan adalah teman ngobrol. Saya ingin ada orang yang bisa saya ajak berbagi.
Suatu sore, saya melihat ada karyawan baru, namanya Yatiman. Pertama kali saya melihatnya, langsung tumbuh perasaan benci. Kenapa? Dia sangat mirip dengan teman saya yang baru saja mengkhianati dan memfitnah saya. Tidak hanya wajahnya yang mirip, tetapi juga tutur katanya, suaranya, bahkan cara berjalannya. Potongan rambutnya pula, rambut lurus gaya mandarin ala Andy Lau.
Jujur, setiap melihatnya, saya lantas teringat dengan teman saya tersebut, dan karenanya, saya menjadi sangat benci. Apa lacur, kendati saya berusaha menjaga jarak, dia justru ‘ditakdirkan’ lebih sering berada di dekat saya. Ia berada dalam satu group dengan saya. Bahkan, di mess, ia berada tepat di samping saya. Ini berarti, ia lebih sering tidur di samping saya.
Seiring dengan waktu, saya mulai berusaha menata hati dan memperbaiki sikap padanya. Apalagi, saya tak melihat sedikit pun hal buruk padanya. Ia jujur, jenaka, dan ramah. Hampir setiap malam, sebelum tidur, seraya bertelekan pada lengannya, ia bertanya dan bercerita macam-macam kepada saya. Potongan-potongan hidup dan episode masa lalunya menjadi puzzle yang semakin kita bisa menghubungkan, maka semakin menariklah itu. Pun, saya jadi mengenal Yatiman dari cerita-ceritanya yang beranjak usang.
Lama-lama, sikap saya mencair. Tanpa sadar, kami menjadi teman ngobrol yang bahkan tak jarang mengusik tidur teman lain dan membuat mereka menghardik, “Ssst… Sudah malam! Jangan berisik!”
Yang saya suka dari Yatiman adalah sikapnya yang empatik. Yatiman adalah seorang teman yang istimewa untuk saya. Kendati lelah setelah bekerja seharian, ia tak bosan mendengar cerita saya dengan gaya empatiknya yang luar biasa. Ia mau bersabar mendengar cerita-cerita saya, keluhan-keluhan saya yang saya ulang-ulang hampir setiap malam. Volume suara saya yang semula tinggi berangsur-angsur turun –karena khawatir mengganggu yang lain– hingga akhirnya berubah menjadi bisik-bisik. Kadang-kadang dalam keadaan setengah lelap setengah terjaga, ia masih menyempatkan diri menanggapi dengan “oo… jadi begitu?”, “Terus?”, “Wah… hebat!”, “Mm… jadi gitu, ya?”
Terus terang, saya merasa nyaman. Humor-humornya kadang garing dan agak-agak gagap, tetapi saya tertawa dan terhibur. Tahun 1999, ia pindah kerja ke Lampung. Proses pepindahannya terbilang mendadak. Saya menangis. Saya tak bisa membayangkan bagaimana sepinya jika dia tak ada. Alangkah panjang malam-malam saya karena tak ada teman cerita. Toh, seperti ia katakan, hanya jasad kami berpisah, sedangkan hati tetap dekat.
Saat berpisah, kami berpelukan lamaaa… tanpa mampu saling berucap. Suara kami cekat di tenggorokan. Saat itu, saya mati-matian menahan linangan air mata. Barulah setelah mobil yang membawanya berlalu, saya menghambur ke kamar mandi dan menuntaskan isak di sana. Lamaaa…. Hampir dua jam saya menangis tanpa suara di kamar mandi. Teman-teman yang lain maklum dan tidak berusaha menghentikan tangis saya. Tak juga mereka mengetuk pintu kamar mandi. Mereka tahu saya sedang bersedih dengan kesedihan yang luar biasa.
Sesudah hari itu, cukup lama saya melupakan kesedihan. Setiap melihat bekas lemari pakaian Yat, hati saya terserobot rasa haru dan rindu. Setiap makan siang, saya selalu terkenang makan bersamanya seraya ngobrol banyak hal. Kendati masih ada teman-teman yang lain, namun rasanya semua jadi tak lengkap.
Darinya, sungguh, saya belajar banyak cara memberi perhatian pada orang lain. Saya selalu berharap bisa menjadi ‘dirinya untuk saya’ pada setiap orang yang saya kenal. Saya ingin… selalu menjadi teman yang istimewa untuk semua orang di mana hal itu bisa dilakukan dengan hal-hal sederhana, sesederhana yang dilakukan Yatiman pada saya.
Yat, dengan rindu untukmu.
Posting Komentar