ARTI DARI GAMBAR PATICCASAMUPPADA
Saudara-saudari, pada kesempatan kali ini, kami ingin mengajak saudara-saudara dan para sahabat yang tercinta sekalian untuk membahas sebuah hukum yang menerangkan fenomena kehidupan. Hukum ini adalah hukum “PATICCASAMUPPADA”. Sebelum kita memasuki pembahasan pokok, marilah sebelumnya kita membahas arti dan makna dari gambar “paticcasamuppada” tersebut diatas.
Saudara-saudari, dan para sahabat yang tercinta, pada pusat gambar tersebut, terdapat lingkaran dengan tiga (3) ekor binatang, yaitu :
Seekor ayam ; melambangkan keserakahan,
Seekor ular ; melambangkan kebencian,
Seekor babi ; melambangkan kegelapan-batin.
Makna dari gambar tersebut adalah, keserakahan dan kebencian selalu muncul bersama-sama dengan kegelapan batin. Ketiganya [ keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan batin (moha) ] merupakan sebab akar buruk yang menyebabkan tumimbal lahir.
Makna dari Jalan “Putih” dan Jalan “Hitam”
Di sebelah luar dari pusat tersebut, terdapat jalan berwarna putih, dan jalan berwarna hitam. Di jalan berwarna putih, orang-orang berjalan dengan benar di dalam cara-cara latihan yang bermanfaat ( kusala kamma ), baik Bhikkhu maupun upasaka-upasika. Sedangkan di jalan berwarna hitam, orang-orang telanjang ( symbol tidak tahu malu akibat berbuat jahat / ahirika dan tidak takut akan akibat perbuatan jahat / anottappa ) jatuh kebawah akibat perbuatan-perbuatan jahatnya ( akusala kamma ).
Dari jalan yang putih, dapat memasuki dua alam yang menyenangkan, namun dari jalan yang hitam jatuh ke dalam alam-alam menyedihkan. Selama ketiga-akar [ dosa, lobha, dan moha] masih ada, maka semua makhluk akan selalu berputar-putar melalui jalan “putih” dan “hitam”.
Alam-alam Menyenangkan
Alam-alam yang menyenangkan ditunjukkan pada gambar di sebelah atas di dalam lingkaran. Alam atas sebelah kanan melambangkan alam surga. Pada gambaran ini, terdapat alam-alam para Brahma bercahaya, alam istana para dewa yang cemerlang, alam istana para dewa yang meredup, di sebelah bawahnya terdapat gambar asura-deva yang sedang berperang dengan para dewa.
Di sebelah kiri alam dewa, digambarkan alam manusia. Ada rumah sakit ( palang merah ), ada gereja, ada Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma kepada lima orang petapa, ada dewa sedang mendengarkan khotbah ( di sekitar pohon ), ada mesjid, ada tank baja untuk berperang, dan sebagainya. Dari mulut Sang Buddha keluar Dhamma yang berupa jalur teratai yang melintasi mata rantai “Jati” dan “Jara-marana”. Selama masa kehidupan, kita dapat memotong rantai untuk merealisasi Nibbana melalui Jalan Ariya Beruas Dealapan.
Alam Para Hantu ( Peta )
Alam para hantu digambarkan di sebelah kanan bawah. Ada hantu bermulut sebesar lubang jarum, ada hantu yang bergelimpangan di kotoran, ada hantu yang kepanasan ( dalam gambar matahari sepotong ), ada hantu yang mengerubuti sesajian di meja Puja / sembahyang, ada hantu yang mengganggu pelimpahan jasa, ada hantu yang semua makanan yang dimakannya berubah menjadi api, dan berbagai jenis hantu.
Alam Binatang
Alam binatang ada dibawah alam manusia. Ada sapi sedang meluku sawah, ada ikan ( ada orang yang memancingnya ), ada burung, ada pemburu sedang membidik burung, ada kambing dan pintu kandang, ada kapal selam, ada ikan besar memakan ikan kecil, ular dimakan burung, dan sebagainya. Kehidupan binatang serba tidak tenang.
Alam Neraka
Di dasar lingkaran, digambarkan alam neraka. Ada makhluk yang menggelepar di sungai darah yang mendidih, ada yang tubuhnya tak kuasa dicabik-cabik binatang,tak terhindarkan tertusuk-tusuk batang pohon berduri, ada yang tersirami air panas, dan sebagainya, yang semuanya mengalami sensasi sangat tidak menyenangkan yang tak terhindarkan akibat kamma-buruknya.
Makna dari Rantai yang Mengitari Ke-31 Alam Kehidupan
Mengitari alam-alam tersebut diatas ( representasi dari ke-31 alam kehidupan ) adalah rantai sebab-musabab yang saling bergantung ( paticcasamuppada ), dengan simbolisasi 12 mata rantai. Penjelasan dimulai dari mata rantai sebelah kanan mulut raksasa :
Mata rantai pertama ; dengan gambar pria buta tua sedang bersandar pada tongkatnya, bingung menentukan arah. Ada tonggak-tonggak yang menghadang di depannya. Gambar ini melambangkan Avijja ( kegelapan batin ).
Mata rantai kedua ; dengan gambar pembuat periuk. Di sebelah belakangnya ada periuk yang sudah dibuat, ada yang masih utuh, ada yang besar, kecil, gendut, ada yang sudah pecah, sementara ia masih terus membuat periuk. Gambar tersebut melambangkan perbuatan-perbuatan lampau yang dilakukan ( sankhara ), yang baik maupun yang jelek, ada yang sudah berbuah ( pecah ), ada yang belum berbuah ( masih utuh ), dan tetap orang itu melakukan kamma terus-menerus ( membuat pot / periuk ).
Mata rantai ketiga ; dengan gambar seekor kera yang sedang meloncat dari dahan pohon yang sudah kering tanpa daun buah ke pohon yang masih lebat dan banyak buah. Gambar kera tersebut melambangkan kesadaran (vinnana), yaitu kesadaran melihat, mendengar, mencium bau, mengecap rasa kecapan, mengalami sentuhan, memikirkan, kesadaran tumimbal lahir yang merupakan penerusan dari “kehidupan yang lampau” ( pohon kering ) ke “kehidupan yang baru” ( pohon yang masih hijau dan lebat buahnya ), sehingga terjadilah “makhluk-baru”.
Mata rantai keempat ; dengan gambar pemuda dan pemudi (sepasang) sedang duduk di dalam perahu yang sama mendayung sampan bersama. Gambar tersebut melambangkan batin dan jasmani ( nama-rupa ) yang bersatu dalam berproses (bekerja bersama-sama) terombang-ambing di tengah-tengah lautan kehidupan.
Mata rantai kelima ; dengan gambar rumah yang memiliki lima (5) jendela dan satu (1) pintu. Gambar tersebut melambangkan bahwa di dalam batin dan jasmani (rumah) ini terdapat lima pintu indera dan satu pintu pikiran ( enam landasan indera / salayatana ).
- Mata rantai keenam ; dengan gambar sepasang muda-mudi sedang duduk di malam hari dengan bulan sabitnya, tangan pemuda sedang kontak dengan pemudi. Gambar tersebut melambangkan kontak ( Phassa ) antara enam landasan indera dengan objek-objeknya yang bersesuaian.
- Mata rantai ketujuh ; dengan gambar orang terjatuh karena kedua matanya terkena panah. Gambar tersebut melambangkan perasaan ( vedana ). Perasaan akan membutkan seseorang bila orang tersebut tidak memiliki pengendalian diri dan perhatian murni ( Sati ).
- Mata rantai kedelapan ; dengan gambar malam hari dengan bulan sabitnya orang masih makan, minum-minuman keras. Gambar tersebut melambangkan nafsu ( tanha ) yang membuat seseorang lupa daratan, mabuk kepayang.
- Mata rantai kesembilan ; dengan gambar orang sedang memetik buah-buahan. Walaupun keranjang telah terisi penuh buah, namun ia tetap masih memetik sehingga ada banyak buah tercecer di sekitar keranjang. Gambar tersebut melambangkan kemelekatan ( upadana ).
- Mata rantai kesepuluh ; dengan gambar seorang wanita hamil. Gambar tersebut melambangkan suatu proses menjadi (bhava) yang memiliki kekuatan untuk diteruskan di dalam kelahiran selanjutnya dan menyebabkan penderitaan menjadi lebih panjang.
- Mata rantai kesebelas ; dengan gambar seorang wanita sedang melahirkan. Gambar tersebut melambangkan proses kelahiran kembali/tumimbal lahir ( Jati ).
- Mata rantai keduabelas ; dengan gambar seorang tua renta sedang berjalan dan seonggok mayat sedang terbujur kaku. Gambar tersebut melambangkan proses penuaan ( jara ) dan kematian ( marana ) yang menimpa setiap makhluk yang dilahirkan. Antara kelahiran dan kematian, selama masih ada avijja dan tanha maka selalu terjadi proses-proses kamma dan berlanjutlah proses paticcasamuppada ini.
Di atas kepala raksasa tersebut terdapat mahkota dengan lima buah tengkorak kepala, yang melambangkan bahwa makhluk-makhluk dalam samsara ini mengagungkan mahkota lima kelompok perpaduan ( Pancakkhandha ) yang membahayakan, dan membentuk “diri” kita. Padahal , kelima kelompok perpaduan ( pancakhada ) tersebut pada hakekatnya adalah tidak-kekal ( anicca ), derita ( dukkhaa ) dan anatta ( tanpa-aku ).
Seluruh alam, rantai melingkar , dan raksasa itu dikelilingi oleh lidah api, yang panas. Api yang membakar ini melambangkan panasnya dosa (kebencian/kemarahan), lobha (keserakahan akan keindriyaan ), dan moha ( kegelapan/kebodohan batin).
Dibawah rantai tersebut, terdapat ekor raksasa yang panjang sekali, hingga tak terlihat ujungnya. Hal ini melambangkan kelahiran dan kematian kita yang tak dapat ditelusuri awal-mulanya. Setiap pertanyaan tentang yang “awal” ( prima-causa ) itu akan mengundang spekulasi menyesatkan dan sangat tidak bermanfaat dalam upaya menghancurkan penyebab penderitaan.
Di sisi sebelah kiri atas, ada gambar jalan Dhamma yang telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Buddha, dilambangkan dengan gambar teratai delapan (8) buah dimulai dari mulut beliau menuju As roda dhamma yang berjari-jari delapan (8) buah.
Delapan teratai dijalani oleh para Bhikkhu dan para upasaka-upasika. Delapan bunga teratai melambangkan “Jalan Ariya Beruas Delapan” ( Ariya Atthangika Magga ), sedangkan jari-jari roda melambangkan kondisi dunia ( Lokadhamma 8, yaitu untung-rugi, dicela-dipuji, terhormat-tidak terhormat, suka-duka ).
Di luar jari-jari terdapat empat (4) kali tiga (3) buah teratai, yang melambangkan empat kesunyataan mulia dalam tiga tahap perkembangan batin yang merealisasinya ( tiga tahap dua belas segi pandangan seperti dibahas dalam Dhammacakkappavattana Sutta ), As roda dhamma sudah tidak berputar (diam), melambangkan Nibbana. Jalur teratai itu keluar dari mulut Sang Buddha di alam manusia melintasi mata rantai jati dan jara-marana.
Di sisi kanan atas, terdapat Buddha sedang menunjukkan Nibbana yang berada di tepi seberang, Beliau yang telah selamat, terbebas dari sakitnya pengembaraan, dan memperingatkan kita yang masih jatuh bangun di dasar jurang gelap yang membahayakan dan menghadapi kita dimanapun.
PEMBAHASAN POKOK : PATICCASAMUPPADA
Paticcasampuppada, adalah hukum sebab-musabab yang saling bergantungan. Pemahaman hukum ini merupakan hal yang sangat mendasar dalam pengajaran Buddha-Dhamma. Hukum ini, telah ada di alam semesta tanpa kemunculan seorang Buddha sekalipun. Hukum ini , bukanlah “ciptaan” / “rekayasa” seorang Samma-Sambuddha. Namun, sebagaimana semua Dhamma, memang hanyalah seorang Samma-Sambuddha yang mampu menyingkapkannya. Sebelum kemunculan seorang Samma-Sambuddha, hukum Paticcasamuppada belum pernah terdengar , dalam pengajaran manapun. Dalam Kitab Ti-pitaka Pali, banyak diterangkan, bagaimana detik-detik proses pencapaian pencerahan-sempurna Sang Buddha yang dilewati dengan penembusan akan hukum paticcasamuppada ini.
Pembabaran paticcasamuppada ini adalah untuk memperlihatkan kebenaran dari keadaan yang sebenarnya, dimana tidak ada sesuatu itu timbul tanpa sebab. Bila kita mempelajari Hukum Paticcasamuppada ini dengan sungguh-sungguh, kita akan terbebas dan pandangan salah dan dapat melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewajarnya.
Paticcasamuppada ini adalah merupakan obyek dasar dari Vipassana Bhavana termasuk salah satu obyek dari keenam obyek dasar Vipassana Bhavana, yaitu :
Khanda 5/Pancakkhanda
Dhatu 18
Ayatana 12
Indriya 22
Paticcasamuppada
Ariya Sacca/Cattari Ariya Saccani
“ Imasming Sati Idang Hoti,
Imassuppada Idang Uppajjati,
Imasming Asati Idang Na Hoti,
Imassa Nirodha Idang Nirsujjati “
Artinya =
“ Dengan adanya ini, maka adalah itu,
Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu,
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu,
Dengan padamnya ini, maka padamlah itu.”
Rumusan singkat diatas, mengandung makna yang sangat dalam. Dalam rumusan diatas, kata “timbul” tidak sama dengan kata “ada”, dan kata “padam” tidak sama dengan kata “tidak-ada”. Apabila salah satu kalimat diatas tidak-ada, maka rumusan tersebut tidak mencerminkan kaidah Paticcasamuppada secara tepat.
Di dalam Nidana Vagga, Samyutta Nikaya I : 1 : 1, Sutta Pitaka, Paticcasamuppada diuraikan di dalam dua model sebagai kemunculan dukkha dan padamnya dukkha. Berdasarkan prinsip dari saling menjadikan, relatifitas dan saling bergantungan ini, maka seluruh kelangsungan dan kelanjutan hidup dan juga berhentinya hidup dapat diterangkan dalam formula dari duabelas nidana (sebabmusabab):
a). Proses Kemunculan yang saling bergantungan ( Anuloma ) :
Avijja (1) Paccaya Sankharang (2)
Dengan adanya Avijja (ketidaktahuan/kebodohan), maka muncullah Sankhara (bentuk-bentuk perbuatan/kamma).
Sankhara (2) Paccaya Vinnanang (3)
Dengan adanya Sankhara (bentuk-bentuk perbuatan/kamma), maka muncullah Vinnana (kesadaran).
Vinnana (3) Paccaya Nama-Rupang (4)
Dengan adanya Vinnana (kesadaran), maka muncullah Nama-Rupa (batin dan jasmani).
Nama-Rupa (4) Paccaya Salayatanang (5)
Dengan adanya Nama-Rupang (batin dan jasmani), maka muncullah Salayatana (enam indera).
Salayatana (5) Paccaya Phassa (6)
Dengan adanya Salayatana (enam indera), maka muncullah Phassa (kesan-kesan).
Phassa (6) Paccaya Vedana (7)
Dengan adanya Passa (kesan-kesan), maka muncullah Vedana (perasaan)
Vedana (7) Paccaya Tanha (8)
Dengan adanya Vedana (perasaan), maka muncullah Tanha (keinginan/kehausan).
Tanha (8) Paccaya Upadanang (9)
Dengan adanya Tanha (keinginan/kehausan), maka muncullah Upadana (kemelekatan).
Upadana (9) Paccaya Bhavo (10)
Dengan adanya Upadana (kemelekatan), maka muncullah Bhava (proses tumimbal lahir).
Bhava (10) Paccaya Jati (11)
Dengan adanya Bhava (proses tumimbal lahir), maka muncullah Jati (kelahiran kembali).
Jati (11) Paccaya Jaramaranang (12)
Dengan adanya Jati ( kelahiran kembali), maka muncullah
Jaramaranag (kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit, dan sebagainya).
Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu,
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu,
Dengan padamnya ini, maka padamlah itu.”
Rumusan singkat diatas, mengandung makna yang sangat dalam. Dalam rumusan diatas, kata “timbul” tidak sama dengan kata “ada”, dan kata “padam” tidak sama dengan kata “tidak-ada”. Apabila salah satu kalimat diatas tidak-ada, maka rumusan tersebut tidak mencerminkan kaidah Paticcasamuppada secara tepat.
Di dalam Nidana Vagga, Samyutta Nikaya I : 1 : 1, Sutta Pitaka, Paticcasamuppada diuraikan di dalam dua model sebagai kemunculan dukkha dan padamnya dukkha. Berdasarkan prinsip dari saling menjadikan, relatifitas dan saling bergantungan ini, maka seluruh kelangsungan dan kelanjutan hidup dan juga berhentinya hidup dapat diterangkan dalam formula dari duabelas nidana (sebabmusabab):
a). Proses Kemunculan yang saling bergantungan ( Anuloma ) :
Avijja (1) Paccaya Sankharang (2)
Dengan adanya Avijja (ketidaktahuan/kebodohan), maka muncullah Sankhara (bentuk-bentuk perbuatan/kamma).
Sankhara (2) Paccaya Vinnanang (3)
Dengan adanya Sankhara (bentuk-bentuk perbuatan/kamma), maka muncullah Vinnana (kesadaran).
Vinnana (3) Paccaya Nama-Rupang (4)
Dengan adanya Vinnana (kesadaran), maka muncullah Nama-Rupa (batin dan jasmani).
Nama-Rupa (4) Paccaya Salayatanang (5)
Dengan adanya Nama-Rupang (batin dan jasmani), maka muncullah Salayatana (enam indera).
Salayatana (5) Paccaya Phassa (6)
Dengan adanya Salayatana (enam indera), maka muncullah Phassa (kesan-kesan).
Phassa (6) Paccaya Vedana (7)
Dengan adanya Passa (kesan-kesan), maka muncullah Vedana (perasaan)
Vedana (7) Paccaya Tanha (8)
Dengan adanya Vedana (perasaan), maka muncullah Tanha (keinginan/kehausan).
Tanha (8) Paccaya Upadanang (9)
Dengan adanya Tanha (keinginan/kehausan), maka muncullah Upadana (kemelekatan).
Upadana (9) Paccaya Bhavo (10)
Dengan adanya Upadana (kemelekatan), maka muncullah Bhava (proses tumimbal lahir).
Bhava (10) Paccaya Jati (11)
Dengan adanya Bhava (proses tumimbal lahir), maka muncullah Jati (kelahiran kembali).
Jati (11) Paccaya Jaramaranang (12)
Dengan adanya Jati ( kelahiran kembali), maka muncullah
Jaramaranag (kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit, dan sebagainya).
Dengan padamnya avijja (1), maka padamlah sankhara(2).
Dengan padamnya sankhara (2) maka padamlah vinnana (3).
Dengan padamnya vinnana (3) maka padamlah nama-rupa (4).
Dengan padamnya nama-rupa (4) maka padamlah salayatana (5).
Dengan padamnya salayatana (5) maka padamlah phassa (6).
Dengan padamnya phassa (6) maka padamlah vedana (7).
Dengan padamnya vedana (7) maka padamlah tanha (8).
Dengan padamnya tanha (8) maka padamlah upadana (9).
Dengan padamnya upadana (9) maka padamlah bhava (10).
Dengan padamnya bhava (10) maka padamlah jati (11).
Dengan padamnya jati (11) maka padamlah jara-marana (12).
Saudara-saudari, dan para sahabat yang tercinta, rumusan diatas merupakan rumusan umum yang sering dibahas. Sebenarnya, di dalam mempelajari Paticcasamuppada ini, terdapat beberapa sudut pandang pembahasan, yaitu =
1. Dipandang dari 12 faktor / Dvadasangani ( nidana 12 ).
Dvadasangani adalah 12 faktor, yaitu Avijja, Sankhara, Vinnana, Nama-Rupa, Salayatana, Phassa, Vedana, Tanha, Upadana, Bhava, Jati dan Jara marana.
2. Dipandang dari 3 periode ( tayo-addha 3 )
Tayo-Addha adalah 3 masa, yaitu Avijja dan Sankhara faktor ini termasuk Atita-Addha (masa yang lampau). Jati dan Jara-marana 2 faktor ini termasuk Anagata addha (masa yang akan datang). Sedangkan selebihnya dibagian tengah ada 8 faktor (vinnana, nama-rupa, salayatana, phassa, vedana, tanha, upadana dan bhava) termasuk Paccuppanna-addha (masa yang sekarang)
3. Dipandang dari 3 hubungan ( ti-sandhi )
Tisandhi adalah 3 hubungan, yaitu Sankhara dengan Vinnana menjadi 1 hubungan, Vedana dengan Tanha menjadi 1 hubungan Bhava dengan Jati menjadi 1 hubungan.
4. Dipandang dari 2 akar ( dve-mulani )
Dvemulani adalah 2 akar, yaitu Avijja dan Tanha.
5. Dipandang dari 3 lingkaran ( tini-vattani )
Tini-Vattani adalah 3 lingkaran, yaitu :
Avijja, Tanha dan Upadana jumlah 3 faktor ini menjadi Kilesa-Vatta.
Sankhara dan Bhava (khusus Kamma-Bhava) jumlah 2 faktor ini menjadi Kamma-Vatta.
Vinnana, Nama-Rupa, Salayatana, Phassa, Vedana dan Bhava (khusus Uppati-Bhava), Jati dan Jaramarana jumlah 8 faktor ini menjadi Vipaka- Vatta.
6. Dipandang dari 4 bagian ( cattu-sankhepa )
Avijja dan Sankhara jumlah 2 faktor ini menjadi 1 bagian.
Vinna, Nama-Rupa, Salayatana, Phassa dan Vedana jumlah 5 faktor ini menjadi 1 bagian.
Tanha, Upadana dan Bhava jumlah 3 faktor ini menjadi 1 bagian.
Jati dan Jara-marana jumlah 2 faktor ini menjadi 1 bagian.
7. Dipandang dari 4 fase 5 sebab akibat ( visatakara )
a. Keadaan yang menjadi sebab yang lampau (atitahetu) ada 5 faktor, yaitu Avijja, Sankhara, Tanha, Upadana dan Bhava.
Keadaan yang menjadi akibat yang sekarang (paccuppanna-phala) ada 5 faktor yaitu, Vinnana, Nama-Rupa, Salayatana, Phassa dan Vedana.
c. Keadaan yang menjadi sebab yang sekarang (paccuppanna-hetu) ada 5 faktor, yaitu Tanha, Upadana, Bhava, Avijja dan Sankhara.
d. Keadaan yang menjadi akibat yang akan datang (anagata-phala) ada 5 faktor, yaitu Vinnana, Nama Rupa, Salayatana, Phassa dan Vedana.
Pada kesempatan pembahasan kali ini, kami hanya akan membahas sudut pandang yang pertama, yaitu dari sudut pandang 12 faktor ( nidana 12 ). Namun, jika kita telah mempelajari dan mengerti sudut pandang ini, kita jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan, karena kita harus mempelajari ke-6 sudut pandang yang lainnya sesuai tersebut diatas. Bila kita tergesa-gesa mengambil kesimpulan, dapat mengakibatkan munculnya pandangan salah, yaitu pandangan salah yang menyatakan bahwa sebab pertama adalah Avijja ( kebodohan batin ). Pernyataan ini sebagai akibat pengaruh ajaran lain yang menyatakan bahwa ada suatu ‘ujung’ dari segala sebab, yaitu factor “X”, dan ternyata factor “X” ini di dalam Buddha-Dhamma adalah “Avijja”. Padahal, tidak demikianlah sesungguhnya, Avijja bukanlah sebab pertama.
PATICCASAMUPPADA DAN TUMIMBAL-LAHIR
Untuk memudahkan pemahaman, disini kami menggunakan ilustrasi gambar Paticcasamuppada yang sudah sangat dikenal dikalangan para siswa Sang Buddha. Bagi yang tidak beragama Buddha, jangan salah pengertian, gambar tersebut bukanlah alat “tolak-bala”, atau “cap jie shio”, atau untuk ditempelkan di jidat vampire dalam film klasik Tiongkok . Nanti , kami akan menjelaskan apa arti dari gambar tersebut. Sekarang, mari kita membahas satu-demi-satu mata-rantai dalam Paticcasamuppada ini.
Rantai Pertama : Avijja
Ketidaktahuan ( avijja ) tentang kesunyataan adanya penderitaan, sebab, akhir, dan jalan untuk mengakhiri, merupakan sebab utama yang menggerakkan roda kehidupan semua makhluk. Avijja, adalah ketidaktahuan akan “sesuatu” sebagai mana adanya, atau diri sendiri ( “Aku” / “Atman” ) sebagai mana adanya. Ketidaktahuan ini merupakan “kegelapan-batin”, bagaikan kabut pekat yang menyelimuti batin semua makhluk, menghalau pemahaman terhadap semua pengertian benar.
“ Ketidak-tahuan merupakan khayalan yang kuat, tempat kita berkelana begitu lama disini, di kehidupan ini “ , demikian Sabda Sang Buddha.
Saat kita mencapai Pencerahan-Sempurna, ketidaktahuan akan dihancurkan dan berubah menjadi pemahaman benar, semua hubungan sebab akibat pun hancur.
Sang Buddha bersabda,” Mereka yang telah menghancurkan khayalan dan menembus kegelapan yang tebal, tak akan mengembara lagi; sebab akibat tiada lagi pada mereka “.
Ketidaktahuan terhadap yang lampau, yang akan datang, baik masa lampau maupun yang akan datang, baik masa lalu maupun yang akan datang serta Paticcasamuppada juga dipandang sebagai Avijja.
Rantai Kedua : Samkhara
Disebabkan oleh ketidaktahuan timbullah kegiatan yang dipersiapkan ( Samkhara ). Samkhara mempunyai arti beraneka-ragam, harus dimengerti berdasarkan konteksnya. Samkhara berarti kehendak ( cetana ) tidak baik ( akusala ), baik ( kusala ) dan tak tergoyahkan ( anenja ) yang merupakan Kamma penghasil tumimbal lahir. Yang pertama, akusala, mencakup semua kehendak dari 12 bentuk kesadaran yang tidak baik; yang kedua, kusala , mencakup semua kehendak dalam 8 bentuk kesadaran yang indah ( sobhana ) dan 5 macam Rupa-Jhana yang baik; yang ketiga, anenja, mencakup semua kehendak dalam 4 bentuk kesadaran Arupa-Jhana yang baik.
Semua pikiran,ucapan dan perbuatan, baik atau buruk, termasuk dalam samkhara.
Perbuatan baik atau buruk, yang langsung atau tak langsung, berakar pada ketidaktahuan ( avijja ), yang tentunya menghasilkan akibat, cenderung untuk memperpanjang pengembaraan dalam Samsara.
Walaupun begitu, perbuatan baik yang bebas dari ketamakan, kebencian dan khayalan, diperlukan untuk membebaskan diri dari penderitaan kehidupan.
Ketidaktahuan menonjol dalam perbuatan tak baik, ia tertutup oleh perbuatan baik. Oleh karena itu baik perbuatan baik maupun buruk dinilai sebagai akibat ketidaktahuan. Seorang Yang-Tercerahkan-Sempurna, Yang-Tersadar, tidak lagi memiliki tunas-tunas perbuatan baik dan perbuatan buruk, oleh karenanya ia tidak akan terlahir dalam rahim manapun juga, baik alam surga ( alam para dewa ), alam manusia, apalagi alam binatang dan alam setan.
Rantai Ketiga : Patisandhi – Vinnana
Bergantung pada perbuatan yang dipersiapkan pada waktu lampau ( samkhara ) muncul kesadaran penyambung atau tumimbal lahir ( patisandhi vinnana )dalam kehidupan berikut. Disebut begitu karena ia menghubungkan masa lampau dan saat ini, serta merupakan kesadaran awal yang dialami seseorang pada saat pembentukan.
Janin dalam rahim seorang ibu dibentuk oleh perpaduan antara kesadaran penyambung dengan sperma dan sel telur orang tuanya. Dalam kesadaran itu terpendam semua kesan dari kehidupan sebelumnya, ciri-ciri dan kecenderungan dari aliran kehidupan pribadi yang bersangkutan. Kesadaran tumimbal lahir ini dinilai bersih karena ia bebas dari akar kejahatan; keserakahan, kebencian, dan khayalan/nafsu, maupun dari akar kebaikan.
Rantai Keempat : Nama dan Rupa
Bersamaan dengan timbulnya kesadaran penyambung muncullah batin dan jasmani ( nama-rupa ), atau beberapa orang terpelajar lebih suka menyebutnya sebagai,” organisme untuk memenuhi kebutuhan badaniah.”
Unsur ke-2 dan ke-3 ( samkhara dan vinnana ) menyinggung kehidupan masa lalu dan saat ini. Unsur ke-3 dan ke-4 ( vinnana dan nama-rupa ) sebaliknya berada dalam satu masa.
Perpaduan nama-rupa harus dimengerti sebagai nama ( batin ) saja, rupa ( jasmani ) saja, maupun nama-rupa ( batin dan jasmani ) secara bersamaan. Dalam kasus Alam tak berbentuk ( Arupa ) hanya muncul batin dalam hal Alam tanpa batin ( Asanna ) hanya jasmani saja, dalam hal keindriaan ( kama )dan alam berbentuk terdapat batin dan jasmani.
Nama menunjukkan tiga ( 3 ) kelompok : perasaan ( vedana ), persepsi ( sanna ) dan keadaan mental ( samkhara ), yang muncul bersamaan dengan kesadaran penyambung.
Rupa menunjukkan tiga ( 3 ) bagian; tubuh ( kaya ), sex ( bhava ), dan tempat kesadaran ( vatthu ), yang juga muncul bersamaan dengan kesadaran penyambung, dan ditentukan oleh kamma masa lampau.
Bagian tubuh terdiri dari empat ( 4 ) unsur, yaitu : 1.unsur padat, tanah ( pathavi ), 2.unsur cair, air ( apo ), 3.unsur panas, api ( tejo ), 4.unsur gerak, udara( vayo ); dengan enam ( 6 ) hal yang mengikuti ( upada rupa ), yaitu : 5.warna ( vanna ), 6.bau ( gandha ), 7.rasa ( rasa ), 8.pokok yang utama ( oja ),9.tenaga hidup ( jivitindria ), 10.tubuh ( kaya ).
Sex (terdiri atas 10 bagian) dan dasar kehidupan (yang terdiri atas 10 bagian), juga berturut-turut terdiri dari 9 hal pertama serta sex ( bhava ) dan tempat kesadaran ( vatthu ).
Jadi dari penjelasan itu jelas sex ditentukan oleh kamma masa lampau pada saat terjadi pembuahan.
Kaya, berarti bagian tubuh yang peka ( pasada ).
Sex tidak berkembang pada saat pembentukan, tetapi pada kemampuan terpendam ke arah itu. Bukan jantung maupun otak, yang dianggap sebagai tempat kesadaran, tapi kemampuan tempat itulah yang terpendam, berkembang sejak terjadinya pembuahan.
Rantai Kelima : Salayatana
Pada masa pembentukan janin, enam ( 6 ) dasar indria ( salayatana ) secara bertahap berkembang dengan pesat dari perwujudan batin dan jasmani yang latent. Bintik sangat kecil yang tak berarti, sekarang berkembang menjadi peralatan enam ( 6 ) indria yang kompleks.
Enam landasan indria ini muncul bersamaan dengan “nama-rupa”. Enam landasan indria ini merupakan akibat (vipaka) kamma kehidupan yang lampau.
Peralatan manusia sangat sederhana pada awalnya tetapi sangat rumit pada akhirnya. Sebaliknya, peralatan biasa, sangat rumit pada awalnya tetapi sangat sederhana pada akhirnya.
Rantai Keenam : Sentuhan ( Phassa )
Sekarang peralatan enam ( 6 ) indria manusia bekerja secara mekanis tanpa sesuatu yang bertindak sebagai penggerak. Ke-6 indria, mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan batin, berturut-turut mempunyai objek dan fungsi sendiri. Enam ( 6 ) objek indria seperti bentuk, suara, bau, rasa enak, yang dapat diraba dan objek mental yang bersentuhan dengan alat indria, masing-masing memberikan 6 macam kesadaran. Perpaduan antara alat indria, objek indria dan hasil kesadaran yaitu sentuhan ( phassa ) yang murni bersifat subjektif, tak bersangkut paut dengan orang tertentu.
Sang Buddha mengatakan, “ Karena mata dan bentuk, timbul kesadaran melihat; sentuhan merupakan perpaduan ketiga hal itu. Karena telinga dan suara, timbul kesadaran mendengar; karena hidung dan bau, timbul kesadaran penciuman; karena lidah dan lezat, timbul kesadaran kelezatan; karena tubuh dan objek yang biasa disentuh, timbul kesadaran sentuhan; karena pikiran dan objek mental, timbul kesadaran pikiran. Perpaduan ketiga hal itu adalah sentuhan. “
Sehingga, phassa / kesan-kesan kontak tersebut adalah sebagai berikut ;
kesan/kontak mata
kesan/kontak telingga
kesan/kontak hidung
kesan/kontak lidah
kesan/kontak jasmani
kesan/kontak pikiran
Rantai Ketujuh : Perasaan ( Vedana )
Jangan dianggap bahwa hanya dengan bersinggungan timbul sentuhan ( na sangatimatto eva phasso ). Begantung pada sentuhan muncul perasaan ( vedana ). Sesungguhnya, perasaan inilah yang meresapi suatu objek pada saat terjadi sentuhan dengan indria. Perasaan inilah yang mengenyam hasil suatu tindakan menyenangkan atau tak menyenangkan dalam kehidupan ini atau yang lalu. Selain keadaan mental ini tak ada jiwa atau sesuatu yang lain yang merasakan hasil perbuatan.
Perasaan atau kesan, merupakan keadaan mental yang menyertai semua bentuk kesadaran. Ada tiga ( 3 ) jenis utama perasaan, yaitu : i.menyenangkan ( somanassa ), ii.tidak menyenangkan ( domanassa ), iii.netral ( adhukkhamasukha ). Ditambah dengan penderitaan jasmani ( dukkha ) dan kebahagiaan jasmani ( sukkha ), semuanya ada lima ( 5 ) macam perasaan. Perasaan netral disebut juga upekkha yang berarti acuh tak acuh atau seimbang.
Harus diketahui, kebahagiaan Nirvana/Nibbana tidak berhubungan dengan perasaan bentuk manapun. Kebahagiaan tertinggi ini merupakan kebahagiaan karena bebas dari penderitaan, bukannya suatu kenikmatan objek menyenangkan yang manapun.
Rantai Kedelapan : Nafsu Keinginan ( tanha )
Bergantung pada perasaan timbul nafsu keinginan ( tanha ), seperti halnya ketidaktahuan, merupakan faktor penting dalam “ Paticcasamuppada “. Cinta, kehausan, kemelekatan merupakan terjemahan dari kata Pali – “tanha” – ini.
Nafsu keinginan dibedakan menjadi tiga ( 3 ), yaitu :
Kama-tanha, ialah kehausan terhadap kesenangan-kesenangan indera yaitu kehausan pada :
bentuk yang indah
suara yang merdu
bau yang wangi semerbak
rasa yang enak dan nikmat
sentuhan yang empuk dan halus
bentuk-bentuk bathin yang menyenangkan
Bhava-tanha, ialah kehausan untuk menjelma berdasarkan kepercayaan tentang adanya “aku” yang kekal dan terpisah (attavada).
Vibhava-tanha, ialah kehausan untuk memusnahkan diri berdasarkan kepercayaan yang salah, yang menganggap bahwa setelah mati tamatlah atau habislah riwayat tiap manusia/makhluk (ucchedavada). Ini adalah sudut pandang kaum materialis.
Bhavatanha dan vibhavatanha juga diterjemahkan sebagai kemelekatan pada Alam yang Berbentuk ( rupabhava ) dan Alam yang Tak Berbentuk ( Arupabhava ). Biasanya istilah ini juga diterjemahkan sebagai napsu keinginan untuk keberadaan dan tidak keberadaan.
Ada enam ( 6 ) macam napsu keinginan yang berhubungan dengan enam ( 6 ) objek indria seperti bentuk, suara dan sebagainya. Mereka menjadi 12 jika diperlukan sebagai bagian dalam dan luar. Mereka dihitung menjadi 36 jika ditinjau dari sudut masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Jika dikalikan dengan 3 macam napsu yang mendahului, mereka berjumlah 108.
Sangat wajar bagi makhluk duniawi untuk mengembangkan napsu keinginan akan kesenangan indria. Mengatasi keinginan indria sangatlah sulit. Unsur terkuat roda kehidupan ( paticcasamuppada ) adalah ketidaktahuan dan napsu keinginan, dua sebab utama paticcasamuppada. Ketidaktahuan ditunjukkan sebagai sebab masa lalu yang membentuk saat ini, dan napsu keinginan, sebab saat ini yang membentuk masa yang akan datang.
Rantai Kesembilan : Upadana
Bergantung pada napsu keinginan muncul kemelekatan ( upadana ) yaitu napsu keinginan yang terus menerus. Tanha bagaikan dalam gelap mencari benda untuk dicuri. Upadana berhubungan dengan pencurian barang itu. Kemeleketan ditimbulkan oleh napsu keinginan dan kesalahan. Ia menimbulkan gagasan yang salah tentang “ aku “ dan “ milikku “.
Ada empat ( 4 ) macam kemelekatan, yaitu :
Kamupadana, ialah kemelekatan pada bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan dan kesan pikiran. Atau kemelekatan pada kesenangan indera.
Ditthupadana, ialah kemelekatan pada pandangan yang salah, yaitu : yang benar dikatakan salah, yang baik dikatakan buruk, yang berguna dikatakan tidak berguna dan lain-Iainnya.
Silabbatupadana, ialah kemelekatan pada upacara agama, yang menganggap bahwa upacara agama dapat menghasilkan kesucian.
Attavadupadana, ialah kemelekatan pada kepercayaan tentang adanya “aku” atau “atta” yang kekal dan terpisah.
Rantai Kesepuluh : bhava
Bergantung pada kemelekatan timbul bhava, yang secara harafiah berarti “menjadi” ( Inggris : being ).
Bhava, ini merupakan perbuatan baik ataupun buruk yang membentuk Kamma ( kammabhava ) – proses aktif untuk menjadi – dan berbagai alam kehidupan ( upattibhava ) – proses menjadi yang pasif.
Kammabhava, ialah proses kamma yaitu munculnya bentuk -bentuk karma yang menyebabkan tumimbal lahir.
Upattibhava, ialah proses tumimbal-Iahir, yaitu buah-buah kamma yang lalu (vipaka-kamma).
Perbedaan kecil antara samkhara dan kammabhava yaitu yang pertama menunjukkan masa lalu sedangkan yang kedua menunjukkan kehidupan saat ini. Keduanya menunjukkan kekuatan Kamma, hanya saja kammabhava yang membentuk kelahiran yang akan datang.
Rantai Kesebelas : Jati
Bergantung pada proses menjadi muncul kelahiran ( jati ) dalam kehidupan berikutnya.
Yang dimaksudkan dengan kelahiran adalah munculnya perwujudan batin dan jasmani ( khandhanam patubhavo ).
Rantai Keduabelas : Jaramarana
Usia tua dan kematian ( jaramarana ) merupakan hasil kelahiran yang tidak dapat dielakkan. Jara-marana, ialah ketuaan dan kematian, yang merupakan rangkaian penderitaan, seperti kesakitan, susah hati, kesedihan, ratap tangis, putus asa, kecewa, kematian dan lain-Iainnya.
MEMBALIK URUTAN PATICCASAMUPPADA
Urutan Paticcasamuppada secara terbalik akan memperjelas permasalahan proses tumimbal-lahir ini. Berikut ini adalah jika urutan tersebut dibalik :
“ Usia tua dan kematian hanya dimungkinkan terjadi pada organisme batin-jasmani, yaitu suatu “mesin” dengan 6 indria. Organisme semacam itu harus dilahirkan, oleh karena itu perlu adanya kelahiran.
Kelahiran merupakan akibat yang tak dapat dielakkan dari Kamma atau perbuatan masa lalu, yang dibentuk oleh kemelekatan karena adanya napsu keinginan. Napsu keinginan muncul jika ada perasaan. Perasaan merupakan hasil sentuhan indria dengan objeknya.
Oleh karena itu ia menduga adanya alat indria yang tak mungkin ada jika tidak terdapat batin dan jasmani. Batin berakar dari kesadaran tumimbal lahir, yang dibentuk oleh perbuatan-perbuatan, karena tidak mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya. “
Jadi, rumusan selengkapnya adalah sebagai berikut :
1. Bergantung pada ketidaktahuan ( avijja ) muncul kegiatan yang terbatas ( samkhara ) .
2. Bergantung pada kegiatan yang terbatas ( samkhara ) muncul kesadaran penyambung ( pattisandi-vinnana ) .
3. Bergantung pada kesadaran penyambung ( pattisandi-vinnana ) muncul batin dan jasmani ( nama dan rupa ).
4. Bergantung pada batin dan jasmani ( nama dan rupa ) muncul 6 landasan indria ( salayatana ).
5. Bergantung pada 6 landasan indria ( salayatana ) muncul sentuhan ( Phassa ).
6. Bergantung pada sentuhan ( Phassa ) muncul perasaan ( Vedana ).
7. Bergantung pada perasaan ( vedana ) muncul napsu keinginan ( tanha ).
8. Bergantung pada napsu keinginan ( tanha ) muncul kemelekatan ( Upadana ).
9. Bergantung pada kemelekatan ( Upadana ) muncul perbuatan ( kammabhava ).
10. Bergantung pada perbuatan ( Kammabhava ) muncul kelahiran ( Jati ).
11. Bergantung pada kelahiran ( Jati ) muncullah
12. usia tua, kematian, penderitaan, penyesalan, kegetiran, kesedihan, dan kekecewaan ( Jaramarana ).
Demikianlah paticcasamuppada menerangkan timbulnya keseluruhan kelompok penderitaan ( dukkha ).
Semoga wacana kali ini bermanfaat bagi kita semua.
( Sumber Pustaka : “Sang Buddha dan Ajaran-ajaran-Nya”, Bhante Narada Mahathera ; Majalah Dhammacakka, no.43/XII/Agustus-Oktober 2006 ).
Salam Damai dan Cinta Kasih…,
“ Sabbe Satta Sukhita Hontu, Nidukkha Hontu, Avera Hontu, Abyapajja hontu, Anigha Hontu, Sukhi attanam Pariharantu “
( “Semoga semua makhluk berbahagia, bebas dari penderitaan, bebas dari kebencian/permusuhan/pertentangan/niat jahat, bebas dari kesakitan, bebas dari kesukaran, semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaan mereka masing-masing” )
~ RATANA KUMARO ~
Ketidaktahuan ( avijja ) tentang kesunyataan adanya penderitaan, sebab, akhir, dan jalan untuk mengakhiri, merupakan sebab utama yang menggerakkan roda kehidupan semua makhluk. Avijja, adalah ketidaktahuan akan “sesuatu” sebagai mana adanya, atau diri sendiri ( “Aku” / “Atman” ) sebagai mana adanya. Ketidaktahuan ini merupakan “kegelapan-batin”, bagaikan kabut pekat yang menyelimuti batin semua makhluk, menghalau pemahaman terhadap semua pengertian benar.
“ Ketidak-tahuan merupakan khayalan yang kuat, tempat kita berkelana begitu lama disini, di kehidupan ini “ , demikian Sabda Sang Buddha.
Saat kita mencapai Pencerahan-Sempurna, ketidaktahuan akan dihancurkan dan berubah menjadi pemahaman benar, semua hubungan sebab akibat pun hancur.
Sang Buddha bersabda,” Mereka yang telah menghancurkan khayalan dan menembus kegelapan yang tebal, tak akan mengembara lagi; sebab akibat tiada lagi pada mereka “.
Ketidaktahuan terhadap yang lampau, yang akan datang, baik masa lampau maupun yang akan datang, baik masa lalu maupun yang akan datang serta Paticcasamuppada juga dipandang sebagai Avijja.
Rantai Kedua : Samkhara
Disebabkan oleh ketidaktahuan timbullah kegiatan yang dipersiapkan ( Samkhara ). Samkhara mempunyai arti beraneka-ragam, harus dimengerti berdasarkan konteksnya. Samkhara berarti kehendak ( cetana ) tidak baik ( akusala ), baik ( kusala ) dan tak tergoyahkan ( anenja ) yang merupakan Kamma penghasil tumimbal lahir. Yang pertama, akusala, mencakup semua kehendak dari 12 bentuk kesadaran yang tidak baik; yang kedua, kusala , mencakup semua kehendak dalam 8 bentuk kesadaran yang indah ( sobhana ) dan 5 macam Rupa-Jhana yang baik; yang ketiga, anenja, mencakup semua kehendak dalam 4 bentuk kesadaran Arupa-Jhana yang baik.
Semua pikiran,ucapan dan perbuatan, baik atau buruk, termasuk dalam samkhara.
Perbuatan baik atau buruk, yang langsung atau tak langsung, berakar pada ketidaktahuan ( avijja ), yang tentunya menghasilkan akibat, cenderung untuk memperpanjang pengembaraan dalam Samsara.
Walaupun begitu, perbuatan baik yang bebas dari ketamakan, kebencian dan khayalan, diperlukan untuk membebaskan diri dari penderitaan kehidupan.
Ketidaktahuan menonjol dalam perbuatan tak baik, ia tertutup oleh perbuatan baik. Oleh karena itu baik perbuatan baik maupun buruk dinilai sebagai akibat ketidaktahuan. Seorang Yang-Tercerahkan-Sempurna, Yang-Tersadar, tidak lagi memiliki tunas-tunas perbuatan baik dan perbuatan buruk, oleh karenanya ia tidak akan terlahir dalam rahim manapun juga, baik alam surga ( alam para dewa ), alam manusia, apalagi alam binatang dan alam setan.
Rantai Ketiga : Patisandhi – Vinnana
Bergantung pada perbuatan yang dipersiapkan pada waktu lampau ( samkhara ) muncul kesadaran penyambung atau tumimbal lahir ( patisandhi vinnana )dalam kehidupan berikut. Disebut begitu karena ia menghubungkan masa lampau dan saat ini, serta merupakan kesadaran awal yang dialami seseorang pada saat pembentukan.
Janin dalam rahim seorang ibu dibentuk oleh perpaduan antara kesadaran penyambung dengan sperma dan sel telur orang tuanya. Dalam kesadaran itu terpendam semua kesan dari kehidupan sebelumnya, ciri-ciri dan kecenderungan dari aliran kehidupan pribadi yang bersangkutan. Kesadaran tumimbal lahir ini dinilai bersih karena ia bebas dari akar kejahatan; keserakahan, kebencian, dan khayalan/nafsu, maupun dari akar kebaikan.
Rantai Keempat : Nama dan Rupa
Bersamaan dengan timbulnya kesadaran penyambung muncullah batin dan jasmani ( nama-rupa ), atau beberapa orang terpelajar lebih suka menyebutnya sebagai,” organisme untuk memenuhi kebutuhan badaniah.”
Unsur ke-2 dan ke-3 ( samkhara dan vinnana ) menyinggung kehidupan masa lalu dan saat ini. Unsur ke-3 dan ke-4 ( vinnana dan nama-rupa ) sebaliknya berada dalam satu masa.
Perpaduan nama-rupa harus dimengerti sebagai nama ( batin ) saja, rupa ( jasmani ) saja, maupun nama-rupa ( batin dan jasmani ) secara bersamaan. Dalam kasus Alam tak berbentuk ( Arupa ) hanya muncul batin dalam hal Alam tanpa batin ( Asanna ) hanya jasmani saja, dalam hal keindriaan ( kama )dan alam berbentuk terdapat batin dan jasmani.
Nama menunjukkan tiga ( 3 ) kelompok : perasaan ( vedana ), persepsi ( sanna ) dan keadaan mental ( samkhara ), yang muncul bersamaan dengan kesadaran penyambung.
Rupa menunjukkan tiga ( 3 ) bagian; tubuh ( kaya ), sex ( bhava ), dan tempat kesadaran ( vatthu ), yang juga muncul bersamaan dengan kesadaran penyambung, dan ditentukan oleh kamma masa lampau.
Bagian tubuh terdiri dari empat ( 4 ) unsur, yaitu : 1.unsur padat, tanah ( pathavi ), 2.unsur cair, air ( apo ), 3.unsur panas, api ( tejo ), 4.unsur gerak, udara( vayo ); dengan enam ( 6 ) hal yang mengikuti ( upada rupa ), yaitu : 5.warna ( vanna ), 6.bau ( gandha ), 7.rasa ( rasa ), 8.pokok yang utama ( oja ),9.tenaga hidup ( jivitindria ), 10.tubuh ( kaya ).
Sex (terdiri atas 10 bagian) dan dasar kehidupan (yang terdiri atas 10 bagian), juga berturut-turut terdiri dari 9 hal pertama serta sex ( bhava ) dan tempat kesadaran ( vatthu ).
Jadi dari penjelasan itu jelas sex ditentukan oleh kamma masa lampau pada saat terjadi pembuahan.
Kaya, berarti bagian tubuh yang peka ( pasada ).
Sex tidak berkembang pada saat pembentukan, tetapi pada kemampuan terpendam ke arah itu. Bukan jantung maupun otak, yang dianggap sebagai tempat kesadaran, tapi kemampuan tempat itulah yang terpendam, berkembang sejak terjadinya pembuahan.
Rantai Kelima : Salayatana
Pada masa pembentukan janin, enam ( 6 ) dasar indria ( salayatana ) secara bertahap berkembang dengan pesat dari perwujudan batin dan jasmani yang latent. Bintik sangat kecil yang tak berarti, sekarang berkembang menjadi peralatan enam ( 6 ) indria yang kompleks.
Enam landasan indria ini muncul bersamaan dengan “nama-rupa”. Enam landasan indria ini merupakan akibat (vipaka) kamma kehidupan yang lampau.
Peralatan manusia sangat sederhana pada awalnya tetapi sangat rumit pada akhirnya. Sebaliknya, peralatan biasa, sangat rumit pada awalnya tetapi sangat sederhana pada akhirnya.
Rantai Keenam : Sentuhan ( Phassa )
Sekarang peralatan enam ( 6 ) indria manusia bekerja secara mekanis tanpa sesuatu yang bertindak sebagai penggerak. Ke-6 indria, mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan batin, berturut-turut mempunyai objek dan fungsi sendiri. Enam ( 6 ) objek indria seperti bentuk, suara, bau, rasa enak, yang dapat diraba dan objek mental yang bersentuhan dengan alat indria, masing-masing memberikan 6 macam kesadaran. Perpaduan antara alat indria, objek indria dan hasil kesadaran yaitu sentuhan ( phassa ) yang murni bersifat subjektif, tak bersangkut paut dengan orang tertentu.
Sang Buddha mengatakan, “ Karena mata dan bentuk, timbul kesadaran melihat; sentuhan merupakan perpaduan ketiga hal itu. Karena telinga dan suara, timbul kesadaran mendengar; karena hidung dan bau, timbul kesadaran penciuman; karena lidah dan lezat, timbul kesadaran kelezatan; karena tubuh dan objek yang biasa disentuh, timbul kesadaran sentuhan; karena pikiran dan objek mental, timbul kesadaran pikiran. Perpaduan ketiga hal itu adalah sentuhan. “
Sehingga, phassa / kesan-kesan kontak tersebut adalah sebagai berikut ;
kesan/kontak mata
kesan/kontak telingga
kesan/kontak hidung
kesan/kontak lidah
kesan/kontak jasmani
kesan/kontak pikiran
Rantai Ketujuh : Perasaan ( Vedana )
Jangan dianggap bahwa hanya dengan bersinggungan timbul sentuhan ( na sangatimatto eva phasso ). Begantung pada sentuhan muncul perasaan ( vedana ). Sesungguhnya, perasaan inilah yang meresapi suatu objek pada saat terjadi sentuhan dengan indria. Perasaan inilah yang mengenyam hasil suatu tindakan menyenangkan atau tak menyenangkan dalam kehidupan ini atau yang lalu. Selain keadaan mental ini tak ada jiwa atau sesuatu yang lain yang merasakan hasil perbuatan.
Perasaan atau kesan, merupakan keadaan mental yang menyertai semua bentuk kesadaran. Ada tiga ( 3 ) jenis utama perasaan, yaitu : i.menyenangkan ( somanassa ), ii.tidak menyenangkan ( domanassa ), iii.netral ( adhukkhamasukha ). Ditambah dengan penderitaan jasmani ( dukkha ) dan kebahagiaan jasmani ( sukkha ), semuanya ada lima ( 5 ) macam perasaan. Perasaan netral disebut juga upekkha yang berarti acuh tak acuh atau seimbang.
Harus diketahui, kebahagiaan Nirvana/Nibbana tidak berhubungan dengan perasaan bentuk manapun. Kebahagiaan tertinggi ini merupakan kebahagiaan karena bebas dari penderitaan, bukannya suatu kenikmatan objek menyenangkan yang manapun.
Rantai Kedelapan : Nafsu Keinginan ( tanha )
Bergantung pada perasaan timbul nafsu keinginan ( tanha ), seperti halnya ketidaktahuan, merupakan faktor penting dalam “ Paticcasamuppada “. Cinta, kehausan, kemelekatan merupakan terjemahan dari kata Pali – “tanha” – ini.
Nafsu keinginan dibedakan menjadi tiga ( 3 ), yaitu :
Kama-tanha, ialah kehausan terhadap kesenangan-kesenangan indera yaitu kehausan pada :
bentuk yang indah
suara yang merdu
bau yang wangi semerbak
rasa yang enak dan nikmat
sentuhan yang empuk dan halus
bentuk-bentuk bathin yang menyenangkan
Bhava-tanha, ialah kehausan untuk menjelma berdasarkan kepercayaan tentang adanya “aku” yang kekal dan terpisah (attavada).
Vibhava-tanha, ialah kehausan untuk memusnahkan diri berdasarkan kepercayaan yang salah, yang menganggap bahwa setelah mati tamatlah atau habislah riwayat tiap manusia/makhluk (ucchedavada). Ini adalah sudut pandang kaum materialis.
Bhavatanha dan vibhavatanha juga diterjemahkan sebagai kemelekatan pada Alam yang Berbentuk ( rupabhava ) dan Alam yang Tak Berbentuk ( Arupabhava ). Biasanya istilah ini juga diterjemahkan sebagai napsu keinginan untuk keberadaan dan tidak keberadaan.
Ada enam ( 6 ) macam napsu keinginan yang berhubungan dengan enam ( 6 ) objek indria seperti bentuk, suara dan sebagainya. Mereka menjadi 12 jika diperlukan sebagai bagian dalam dan luar. Mereka dihitung menjadi 36 jika ditinjau dari sudut masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Jika dikalikan dengan 3 macam napsu yang mendahului, mereka berjumlah 108.
Sangat wajar bagi makhluk duniawi untuk mengembangkan napsu keinginan akan kesenangan indria. Mengatasi keinginan indria sangatlah sulit. Unsur terkuat roda kehidupan ( paticcasamuppada ) adalah ketidaktahuan dan napsu keinginan, dua sebab utama paticcasamuppada. Ketidaktahuan ditunjukkan sebagai sebab masa lalu yang membentuk saat ini, dan napsu keinginan, sebab saat ini yang membentuk masa yang akan datang.
Rantai Kesembilan : Upadana
Bergantung pada napsu keinginan muncul kemelekatan ( upadana ) yaitu napsu keinginan yang terus menerus. Tanha bagaikan dalam gelap mencari benda untuk dicuri. Upadana berhubungan dengan pencurian barang itu. Kemeleketan ditimbulkan oleh napsu keinginan dan kesalahan. Ia menimbulkan gagasan yang salah tentang “ aku “ dan “ milikku “.
Ada empat ( 4 ) macam kemelekatan, yaitu :
Kamupadana, ialah kemelekatan pada bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan dan kesan pikiran. Atau kemelekatan pada kesenangan indera.
Ditthupadana, ialah kemelekatan pada pandangan yang salah, yaitu : yang benar dikatakan salah, yang baik dikatakan buruk, yang berguna dikatakan tidak berguna dan lain-Iainnya.
Silabbatupadana, ialah kemelekatan pada upacara agama, yang menganggap bahwa upacara agama dapat menghasilkan kesucian.
Attavadupadana, ialah kemelekatan pada kepercayaan tentang adanya “aku” atau “atta” yang kekal dan terpisah.
Rantai Kesepuluh : bhava
Bergantung pada kemelekatan timbul bhava, yang secara harafiah berarti “menjadi” ( Inggris : being ).
Bhava, ini merupakan perbuatan baik ataupun buruk yang membentuk Kamma ( kammabhava ) – proses aktif untuk menjadi – dan berbagai alam kehidupan ( upattibhava ) – proses menjadi yang pasif.
Kammabhava, ialah proses kamma yaitu munculnya bentuk -bentuk karma yang menyebabkan tumimbal lahir.
Upattibhava, ialah proses tumimbal-Iahir, yaitu buah-buah kamma yang lalu (vipaka-kamma).
Perbedaan kecil antara samkhara dan kammabhava yaitu yang pertama menunjukkan masa lalu sedangkan yang kedua menunjukkan kehidupan saat ini. Keduanya menunjukkan kekuatan Kamma, hanya saja kammabhava yang membentuk kelahiran yang akan datang.
Rantai Kesebelas : Jati
Bergantung pada proses menjadi muncul kelahiran ( jati ) dalam kehidupan berikutnya.
Yang dimaksudkan dengan kelahiran adalah munculnya perwujudan batin dan jasmani ( khandhanam patubhavo ).
Rantai Keduabelas : Jaramarana
Usia tua dan kematian ( jaramarana ) merupakan hasil kelahiran yang tidak dapat dielakkan. Jara-marana, ialah ketuaan dan kematian, yang merupakan rangkaian penderitaan, seperti kesakitan, susah hati, kesedihan, ratap tangis, putus asa, kecewa, kematian dan lain-Iainnya.
MEMBALIK URUTAN PATICCASAMUPPADA
Urutan Paticcasamuppada secara terbalik akan memperjelas permasalahan proses tumimbal-lahir ini. Berikut ini adalah jika urutan tersebut dibalik :
“ Usia tua dan kematian hanya dimungkinkan terjadi pada organisme batin-jasmani, yaitu suatu “mesin” dengan 6 indria. Organisme semacam itu harus dilahirkan, oleh karena itu perlu adanya kelahiran.
Kelahiran merupakan akibat yang tak dapat dielakkan dari Kamma atau perbuatan masa lalu, yang dibentuk oleh kemelekatan karena adanya napsu keinginan. Napsu keinginan muncul jika ada perasaan. Perasaan merupakan hasil sentuhan indria dengan objeknya.
Oleh karena itu ia menduga adanya alat indria yang tak mungkin ada jika tidak terdapat batin dan jasmani. Batin berakar dari kesadaran tumimbal lahir, yang dibentuk oleh perbuatan-perbuatan, karena tidak mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya. “
Jadi, rumusan selengkapnya adalah sebagai berikut :
1. Bergantung pada ketidaktahuan ( avijja ) muncul kegiatan yang terbatas ( samkhara ) .
2. Bergantung pada kegiatan yang terbatas ( samkhara ) muncul kesadaran penyambung ( pattisandi-vinnana ) .
3. Bergantung pada kesadaran penyambung ( pattisandi-vinnana ) muncul batin dan jasmani ( nama dan rupa ).
4. Bergantung pada batin dan jasmani ( nama dan rupa ) muncul 6 landasan indria ( salayatana ).
5. Bergantung pada 6 landasan indria ( salayatana ) muncul sentuhan ( Phassa ).
6. Bergantung pada sentuhan ( Phassa ) muncul perasaan ( Vedana ).
7. Bergantung pada perasaan ( vedana ) muncul napsu keinginan ( tanha ).
8. Bergantung pada napsu keinginan ( tanha ) muncul kemelekatan ( Upadana ).
9. Bergantung pada kemelekatan ( Upadana ) muncul perbuatan ( kammabhava ).
10. Bergantung pada perbuatan ( Kammabhava ) muncul kelahiran ( Jati ).
11. Bergantung pada kelahiran ( Jati ) muncullah
12. usia tua, kematian, penderitaan, penyesalan, kegetiran, kesedihan, dan kekecewaan ( Jaramarana ).
Demikianlah paticcasamuppada menerangkan timbulnya keseluruhan kelompok penderitaan ( dukkha ).
Semoga wacana kali ini bermanfaat bagi kita semua.
( Sumber Pustaka : “Sang Buddha dan Ajaran-ajaran-Nya”, Bhante Narada Mahathera ; Majalah Dhammacakka, no.43/XII/Agustus-Oktober 2006 ).
Salam Damai dan Cinta Kasih…,
“ Sabbe Satta Sukhita Hontu, Nidukkha Hontu, Avera Hontu, Abyapajja hontu, Anigha Hontu, Sukhi attanam Pariharantu “
( “Semoga semua makhluk berbahagia, bebas dari penderitaan, bebas dari kebencian/permusuhan/pertentangan/niat jahat, bebas dari kesakitan, bebas dari kesukaran, semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaan mereka masing-masing” )
~ RATANA KUMARO ~
Posting Komentar