Walaupun menikah dengan keterpaksaan, sang istri tak pernah menunjukkan sikap benci pada suaminya, semua terbungkus kepalsuan dan kepura-puraan. Meskipun membencinya, setiap hari Sang Istri tetap melayaninya sebagaimana tugas istri. Sang Istri merasa terpaksa melakukan semuanya karena ia tak punya pilihan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi sang istri tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuanya dari Sang Istri pun sangat menyayangi sang mantu pria karena menurut mereka, sang mantu pria tersebut adalah sosok suami sempurna untuk putri mereka yang satu-satunya.
Ketika menikah, sang istri menjadi istri yang teramat manja. Ia melakukan segala hal sesuka hatinya. Suaminya ternyata juga memanjakannya sedemikian rupa. Sang istri tak pernah benar-benar menjalani tugasnya sebagai seorang istri. Sang istri selalu bergantung pada suaminya karena sang istri menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang suaminya lakukan padanya. Sang istri merasa telah menyerahkan hidupnya pada suaminya sehingga sudah tugas suaminyalah membuatnya bahagia dengan menuruti semua keinginannya.
Di rumah, akulah ratunya, demikian kata sang istri. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, sang istri selalu menyalahkan suaminya. Sang istri tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, sang istri sebal melihat suaminya meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, sang istri benci ketika suaminya memakai komputernya meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaan kantor. Sang istri marah kalau suaminya menggantung bajunya di kapstock baju Sang Istri, Sang Istri juga marah kalau Sang Suami memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, Sang Istri marah kalau Sang Suami menghubunginya hingga berkali-kali ketika ia sedang bersenang-senang dengan teman-temannya. Marah melulu...
Tadinya ia (Sang Istri) memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi ia tak mau mengurus anak. Awalnya Sang Suami mendukung dan ia-pun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya Dia (Sang Suami) menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari Sang Istri lupa minum pil KB dan meskipun Dia tahu Dia membiarkannya. Sang Istri pun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahan Sang Istri terbesar pada Suaminya. Kemarahan semakin bertambah dan menjadi-jadi ketika ternyata Sang Istri mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Sang Istri memaksanya melakukan tindakan sterilisasi agar tidak hamil lagi. Dengan patuh Sang Suami melakukan semua keinginan Sang Istri karena Sang Istri mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu dengan cepat hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Sang Istri bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menunggunya di meja makan. Seperti biasa, Sang suami lah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, Sang Suami mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibunda Mertua. Sang Istri hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu Sang istri lebih memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibundanya. Yaah, sekali lagi karena merasa terjebak dan tersesat dengan perkawinannya, Sang Istri juga membenci kedua orangtuanya.
Sebelum ke kantor, biasanya Sang Suami mencium pipi Sang Istri saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, Dia juga memeluk Sang Istri sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan suara berisik. Sang Istri berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Sang Suami kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, Sang Istri pun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobinya. Sang Istri tiba di salon langganannya beberapa saat kemudian. Di salon Sang Istri bertemu salah satu temannya sekaligus orang yang tidak disukainya. Mereka mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan mereka. Tiba waktunya Sang Istri harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya Sang Istri ketika menyadari bahwa dompetnya tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasnya hingga bagian terdalam ia tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetnya tak bisa ia temukan, segera saja Sang Istri menelepon suaminya dan bertanya.
"Maaf sayang, kemarin anak kita meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku." Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan penuh emosi, Sang Istri mengomelinya dengan kasar. Ditutup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphonenya kembali berbunyi dan meski masih kesal, Sang Istri pun mengangkatnya dengan setengah membentak. "Apalagi??"
"Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?" tanya suaminya cepat , kuatir Sang Istri menutup telepon kembali. Sang Istri menyebut nama salonnya dan tanpa menunggu jawabannya lagi, Sang Istri kembali menutup telepon. Sang Istri berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiknya akan datang membayarkan tagihannya. Si empunya Salon yang sahabat Sang Istri sebenarnya sudah membolehkan Sang Istri pergi dan mengatakan ia bisa membayarnya nanti kalau ia kembali lagi. Tapi rasa malu karena "musuh"nya juga ikut mendengar Sang Istri ketinggalan dompet membuatnya gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika Sang Istri melihat keluar dan berharap mobil suaminya segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, Sang Istri semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suaminya. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali ditelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering telepon Sang Istri sudah diangkatnya. Sang Istri mulai merasa tidak enak dan marahnya kambuh.
Telepon Sang Istri baru diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakan Sang Istri belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suaminya. Sang Istri terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, "selamat sore, ibu. Apakah ibu istri dari bapak Gunawan (Bukan nama sebenarnya)?" dijawab pertanyaan itu segera dengan kata Benar. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suami ibu telah mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu Sang Istri hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, Sang Istri berjongkok dengan bingung. Tangannya menggenggam erat handphone yang dipegangnya dan beberapa pegawai salon mendekatinya dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahnya menjadi pucat-pasi seputih kertas polos.
Entah bagaimana akhirnya Sang Istri, akhirnya sampai di rumah sakit. Entah bagaimana pula tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusul dan berkumpul. Sang Istri yang hanya diam seribu bahasa menunggu suaminya di depan ruang gawat darurat. Sang Istri tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah (Sang Suami) yang melakukan segalanya untuk istrinya. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita duka itu. Suami Ibu telah tiada. Dia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, Sang Istri malah sibuk menguatkan kedua orangtuanya dan orangtua Sang Suami yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mata Sang Istri. Sang Istri hanya sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuanya. Anak-anak yang terpukul memeluk ibunya dengan erat tetapi kesedihan mendalam mereka sama sekali tak mampu membuat Sang Istri menangis.
Ketika jenazah dibawa pulang ke rumah dan Sang Istri duduk di hadapannya, Sang Istri hanya termangu menatap wajah itu. Disadari baru kali inilah Sang Istri benar-benar menatap wajah suaminya yang tampak tertidur pulas. Sang Istri mendekati wajahnya dan memandanginya dengan seksama. Saat itulah dada Sang Istri menjadi sesak teringat apa yang telah Sang Suami berikan padanya selama sepuluh tahun kebersamaan dalam pernikahaan tersebut. Sang Istri menyentuh perlahan wajah mendiang sang Suaminya yang telah dingin dan Sang istri baru menyadari inilah kali pertama kali Sang Istri menyentuh wajah suaminya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimata Sang Istri, mengaburkan pandangannya. Sang Istri terkesiap berusaha mengusap airmatanya agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirnya pada suaminya, Sang Istri ingin mengingat semua bagian wajah suaminya agar kenangan manis tentang suaminya tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmata Sang Istri semakin deras membanjiri kedua pipinya. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuat Sang Istri berhenti menangis. Sang Istri berusaha menahannya, tapi dadanya sesak mengingat apa yang telah diperbuat pada suaminya terakhir kali saat berbicara di salon.
Sang teringat betapa ia tak pernah memperhatikan kesehatan suaminya. Sang istri hampir tak pernah mengatur makan suaminya. Padahal suaminya selalu mengatur apa yang dimakan Sang istri. Sang Suami selalu memperhatikan vitamin dan obat yang harus dikonsumsi Sang Istri terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Sang Suami tak pernah absen mengingatkan Sang Istri makan yang teratur, bahkan terkadang menyuapi Sang Istri kalau Sang Istri sedang malas makan. Sang istri tak pernah tahu apa yang suaminya makan karena Sang Istri tak pernah bertanya. Bahkan Sang Istri tak tahu apa yang Sang Suami sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suaminya adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dada Sang Istri sesak mendengarnya, karena Sang Istri tahu Sang Suami mungkin terpaksa makan mie instant karena Sang Istri hampir tak pernah memasak untuknya. Sang Istri hanya memasak untuk anak-anak dan dirinya sendiri. Sang Istri tak perduli dengan Sang Suami sudah makan atau belum ketika pulang kerja dan sampai di rumah. Sang Suami bisa makan masakan Sang Istri hanya kalau ada yang bersisa. Sang Suamipun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Sang Istri tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya hanya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temannya.
Saat pemakaman, Sang Istri tak mampu menahan diri lagi. Sang Istri pingsan ketika melihat tubuh suaminya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Sang Istri tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarnya. Sang Istri terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadanya. Keluarga besarnya membujuknya dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa ia (Sang Istri) begitu terluka dengan kehilangan suaminya.
Hari-hari yang dijalani Sang Istri setelah kepergian suaminya, ternyata bukanlah kebebasan seperti yang selama ini diinginkan tetapi malah membuatnya jadi terjebak sekaligus tersesat di dalam keinginan untuk bersama suaminya. Di hari-hari awal kepergian suaminya, Sang Istri duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuanya membujuknya makan. Tetapi yang diingat hanyalah saat suaminya membujuknya makan kalau ia sedang mengambek dulu. Ketika ia (Sang Istri) lupa membawa handuk saat mandi, ia berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibunya yang datang, Sang Istri berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap suaminya yang datang. Kebiasaann Sang Istri yang menelepon suaminya setiap kali Sang Istri tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerja suaminya kebingungan menjawab telepon Sang Istri. Setiap malam Sang Istri menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi ia terbangun dengan sosok suaminya di sebelahnya.
Dulu Sang Istri begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkuran suaminya, tapi sekarang Sang Istri bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu Sang Istri kesal karena Sang Suami sering berantakan di kamar tidur mereka, tetapi kini Sang Istri merasa kamar tidurnya terasa kosong dan hampa. Dulu Sang Istri begitu kesal jika Dia (Sang Suami) melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptop Sang Istri tanpa me-log out, sekarang Sang Istri memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jari suaminya masih tertinggal di sana. Dulu Sang Istri paling tidak suka saat sang Suami membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau dihapus sang Istri. Remote televisi yang biasa disembunyikan Sang istri, sekarang dengan mudah ditemukan meski Sang istri berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu dilakukan Sang Istri karena Sang Istri baru menyadari bahwa Sang Suami begitu mencintainya dan Sang Istri sudah terkena panah cinta dari suaminya.
Sang Istri juga marah pada dirinya sendiri, ia marah ketika melihat semua kelihatan normal meskipun Sang Suami sudah tidak ada. Sang Istri marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatnya rindu. Sang Istri marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalannya. Sang Istri marah karena tak ada lagi yang membujuknya agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkannya sembahyang meskipun kini dilakukan Sang Istri dengan ikhlas. Sang Istri sembahyang karena Sang Istri ingin memohon maaf pada suami “Tercinta”, memohon maaf pada “Gusti Allah” karena telah menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padanya, memohon ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sembahyanglah yang mampu menebus dukanya sedikit demi sedikit. Cinta “Gusti Allah” pada Sang Istri ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untuknya dan anak-anak. Teman-teman Sang Istri yang selama ini dibela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian Sang Suami yang selama-lamanya.
Empat puluh hari setelah kematian Sang Suami, keluarga mengingatkannya untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menunggunya dan harus dihidupi. Kembali rasa bingung merasuki Sang Istri. Selama ini Sang Istri hanya tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suaminya. Berapa besar pendapatannya selama ini Sang Istri tak pernah peduli, yang dipedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningnya untuk dipakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, Sang Istri memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya Sang Istri terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gaji suaminya ditransfer ke rekening Istri Tercinta selama ini. Padahal Sang Istri tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana Sang Suami memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena Sang Istri tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang ia (Sang Istri) tahu sekarang ia harus bekerja atau anak-anaknya takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonus suaminya takkan cukup untuk menghidupi mereka bertiga. Tapi bekerja di mana? Ia hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh suaminya.
Kebingungannya terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahnya datang bersama seorang notaris. Mereka membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya pada Istri dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuat Sang Istri tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untuk Istri Tercinta.
Istriku Liliana (Nama Samaran) tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Gusti Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu Bahagia dan waktu tidak terbuang percuma. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga “Gusti Allah” memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk anakku, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan putraku, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan adikmu. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke Papa!
Sang Istri terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suaminya kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suaminya memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suaminya membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Sang Istri hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada mereka, sehingga ketika ajal menjemputnya Dia (Sang Suami) tetap membanjiri mereka dengan cintanya yang tulus.
Sejak itu Sang Istri tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosok suaminya yang masih begitu hidup di dalam hatinya. Hari demi hari hanya diabdikan untuk anak-anaknya dan menebus segala salah dan dosa pada suaminya. Ketika orangtuanya dan mertuanya pergi satu persatu meninggalkannya selama-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan yang begitu dalam seperti saat kesedihannya ditinggal suami Tercinta selamanya.
Kini kedua putra-putri nya berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putri nya akan menikahi seorang pemuda dari kota lain. Putri nya bertanya, "Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?"
Aku merangkulnya sambil berkata "Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima keterbatasannya (Bukan kekurangan atau kelemahannya), akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta."
Putri nya menatap ibundanya, "seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?"
Ibunda menggeleng, "bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua."
Sang Istri mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cinta kasihnya pada suaminya. Sang Istri bukan hanya telah menghabiskan sepuluh tahun untuk membenci suaminya, tetapi menghabiskan sepanjang sisa hidupnya untuk selalu mencintai suaminya. Sang Istri bebas dari suaminya karena kematian, tapi Sang Istri tak akan pernah bisa bebas dari cinta suaminya yang begitu tulus.
RENUNGAN:
Idealnya "Pria ingin menjadi cinta pertama seorang wanita. Wanita ingin menjadi cinta terakhir seorang pria." Betul, atau Benar?! Dan air mata adalah satu-satunyanya (kalau bukan salah satunya) cara bagaimana mata berbicara ketika bibir sudah tidak mampu lagi untuk menjelaskan apa yang telah membuat perasaan diri terluka. Akhir kata...
Sepi bukan berati hilang.
Diam bukan berati lupa.
Jauh bukan berati putus.
Suami atau Istri masing-masing punya 2 mata yang tidak selalu melihat..., punya 2 tangan yang tidak selalu bisa menyentuh..., punya 2 kaki yang tidak selamanya bisa berjalan bersama..., namun Suami atau Istri punya 1 Hati yang selalu mengerti dan memberi... Cintanya dengan ikhlas.
+ komentar + 2 komentar
:(
Just Love. Thanks Love.
Posting Komentar