Rumah itu tak luas. Tergolong rumah mungil dengan nama generik: tipe 36. Namun kok anehnya, orang yang tinggal di sana selalu berwajah ceria, senang, dan hampir tak ada cekcok.
Tidak hanya itu. Di waktu-waktu tertentu, saat liburan sekolah tiba,rumah sederhana itu tiba-tiba penuh sesak dengan anak-anak. Usut punya usut, mereka adalah keponakan si empunya rumah, Pak Joko, itulah nama pemilik rumah sederhana itu. Mereka datang ke sana, dari berbagai tempat. Dalam setiap acara dan kegiatan, para saudara dekat dan jauh mereka, lebih senang memilih dan menginap di rumah tersebut. Bukan semata karena mereka tak punya uang untuk sekadar menginap di rumah yang sempit itu. Dengar-dengar, ayah mereka hidup berkecukupan.
Pernah beberapa kali, ketika kakak dan adiknya Pak Joko mengadakan hajatan dan menyediakan lantai duanya yang lebih lapang dengan beberapa kamar untuk menginap, mereka malah memilih untuk menginap di rumah Pak Joko. Mereka pun diantar ke rumah itu dengan mobil yang masih mengilap dan baru modelnya.
Tapi memang begitulah faktanya. Mereka justeru lebih senang jika bertandang dan bertamu ke rumah Pak Joko walau rumahnya tergolong sederhana. Itulah yang dirasakan saudara-saudara Pak Joko. Ya, tapi kenapa mereka mau berdesakan di sana?
Pakde Joko, begitulah mereka memanggilnya. Pria berambut keriting dengan kacamata yang selalu nangkring di hidungnya itu punya cara asik untuk menjadikan rumahnya selalu membuat betah pengunjungnya.
Pak Joko tak pernah menyuguhkan kemewahan dan fasilitas layaknya hotel berbintang lima. Keluarga Pak Joko hidup secara sederhana. Jika tamu-tamu datang, Pak Joko beserta isterinya hanya menyuguhkan minuman teh dan kopi panas ditambah makanan khas daerah.
Tetapi yang paling penting yang diberikan Pak Joko kepada tamu-tamunya ialah sikapnya yang justru membentuk rumahnya yang sederhana menjadi rumah jiwa. Rumah jiwa, rumah yang diisi oleh keramahan, ketulusan, kesederhanaan, kenyamanan, dan keikhlasan yang ditampilkan oleh Pak Joko beserta keluarganya.
Keramahan. Itulah yang dilakukan Pak Joko setiap kali menerima saudara dan tamunya. Pak Joko selalu menyambut dengan penuh kehangatan. Dengan tawa dan senyum yang tak pernah lepas setiap kali ia berjumpa dengan orang lain. Pak Joko sendiri memang pandai bergaul kepada setiap orang. Berbicara dengan penuh canda dan persahabatan kepada setiap orang tanpa kecuali.
Ketulusan. Pak Joko tak pernah menolak bahkan mengeluh sedikitpun kepada siapa saja yang bertandang ke rumahnya. Ia tak pernah membedakan status seseorang yang hadir di rumahnya. Semua ia layani dengan penuh ketulusan.
Kesederhanaan. Itu jugalah yang ada pada keseharian Pak Joko.
Hidupnya betul-betul sederhana, jauh dari kemewahan. Ia melayani saudara dan tamunya apa adanya. Pak Joko tak pernah membuat sesuatu menjadi ada kalau memang tidak ada, atau istilahnya, mengada-ada yang tidak ada. Begitu juga sebaliknya, Pak Joko tak pernah menyembunyikan yang ada menjadi tidak ada. Malah, saudaranya yang selalu membawakan oleh-oleh dan panganan ringan untuk disantap bersama.
Kenyamanan. Setiap orang yang berkunjung ke rumahnya selalu merasa nyaman. Kalau orang seberang bilang, feel like at home. Merasakan seperti rumah sendiri.
Dan ini yang paling penting, keikhlasan. Pak Joko selalu menerima siapa saja yang hadir di rumahnya dengan penuh keikhlasan. Tanpa pamrih sekalipun.
Dengan kata lain, rumah Pak Joko merupakan pantulan jiwa Pak Joko sendiri. Memang begitulah sejatinya sebuah konsep rumah. Bukan dalam pengertian fisik rumah itu sendiri. Rumah bukanlah sebuah tempat tinggal biasa, tetapi lebih dari itu.
RENUNGAN:
Rumah yang baik adalah rumah yang diisi oleh jiwa-jiwa yang baik.Jiwa-jiwa yang penuh dengan ketenangan. Penuh ketulusan, keikhlasan, dan memiliki kedamaian
Bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda membangun rumah jiwa disana?
Posting Komentar