Empat bayangan hitam mengendap-endap mendekati bangunan rumah yang luas itu. Tembok tinggi bukan merupakan halangan berarti bagi empat bayangan yang tampaknya adalah tokoh dunia persilatan.Dalam sekejab mereka telah masuk ke dalam halaman dan bersiap menuju ruang tidur utama. Tampak mereka sangat menguasai lapangan,
membuktikan market survey telah dilakukan dengan baik. Tapi mereka tak sadar, ada satu sosok berjubah abu-abu menguntit di belakang mereka. Jubah abu- abu dan toya tampaknya sudah menjadi brand image Wu Wo (Tiada Aku).
Ia telah menguntit ke empat orang itu sejak siang hari setelah mendengar rencana jahat mereka ingin melakukan pencurian di rumah si tua Le Shi (Gemar Berdana). Dalam waktu relatif singkat mereka berhasil menguras harta Le Shi. Peti-peti berisi harta yang berat bukan halangan bagi empat bayangan yang bertubuh kekar itu, halangan sesungguhnya adalah pemuda bertoya yang berdiri di tengah halaman itu. Tak ada waktu untuk berbasa-basi, empat golok terayun serempak menyergap Wu Wo. Bukan hal yang sulit bagi toya Wu Wo untuk menaklukkan empat golok, tapi melakukannya tanpa keributan, itu tidak mungkin. Ini benar-benar pertarungan, bukan cerita komik silat.
Tiga orang terkapar pingsan di halaman, seorang lagi berhasil melarikan diri melompati dinding tembok. Semua penghuni rumah terbangun dari mimpi indah. Bunyi kentongan kayu terdengar berkejaran memecah keheningan dini hari yang masih gelap gulita itu. Rumah yang semula sudah cukup terang itu berubah menjadi benderang. Suara riuh terdengar baik dari dalam maupun luar rumah. Sesaat terdengar gedoran pintu depan yang keras. Para pembantu tergopoh- gopoh membukanya dan serombongan penduduk masuk dengan menyeret sesosok tubuh berjubah hitam.
“Pak tua Le Shi, kami tangkap maling ini,” demikian teriak salah seorang dari kerumunan itu.Halaman itu menjadi lebih benderang karena hampir setiap orang masuk dengan membawa sebatang obor. “Berani-beraninya menyatroni Pak tua Le Shi. Memangnya kalian punya berapa nyawa?” “Bawa ke pos keamanan!” “Masih ada lagi tidak anteknya?” Teriakan demi teriakan terdengar saling bersahutan. Uniknya, semua teriakan itu dengan sekejap berhenti saat seorang lelaki tua keluar dari ruang utama. Tak sulit menebaknya, ia adalah si empunya rumah, pak tua Le Shi. Terasa sekali wibawa pak tua ini, dalam waktu singkat suasana kembali senyap. “Anak muda, terima kasih atas pertolonganmu. Bagaimana menyebut namamu?” “Amituofo, nama saya Wu Wo. Tak menyangka Anda sangat dihormati dan disayangi penduduk kota ini.” “Ha, ha, mereka terlalu berlebihan. Saya tak lebih hanya seorang tua yang hari-harinya bagaikan ikan yang hidup di air yang semakin berkurang,” jawab Le Shi sambil mengajak Wu Wo masuk ke dalam rumah. “Kalau mendengar pembicaraan penduduk tadi, Anda dikenal sebagai seorang hartawan yang dermawan,” Wu Wo duduk di kursi tamu. “Adalah sulit untuk berbagi dengan orang lain.” “Anak muda, saya tidak berani menerima pujianmu.”
“Paman Le Shi, ini bukan pujian, juga bukan saya seorang diri yang mengucapkannya. Kebajikan Paman tidak saja tersohor ke seluruh kota, bahkan ke seluruh negeri. Dalam perjalanan ke tempat ini saya telah banyak mendengar cerita menakjubkan tentang kebajikan Paman. Selama ini yang saya tahu untuk menjadi kaya adalah sulit, tetapi bersedia membagi kekayaan dengan orang lain, itu jauh lebih sulit. Saya tidak mengerti bagaimana Paman bisa melakukan semua ini?” “Sebagai siswa Buddha, anak muda, perbuatan yang kita lakukan ditujukan demi kebahagiaan semua makhluk, namun ini bukan berarti kita harus melakukan perbuatan yang merugikan diri sendiri. Sebagai misal, usaha dagang yang saya lakukan. Demi manfaat makhluk lain bukan berarti harus jual rugi, melainkan usaha jual beli saya lakukan dengan landasan kejujuran. Harga produk dijual sesuai dengan nilai kepuasan yang diperoleh pembeli. Hubungan dengan pemasok dan pembeli bukan didasarkan pada siapa untung siapa rugi, namun bersama-sama membangun kemitraan yang menguntungkan semua pihak. Ini adalah aspek bagaimana bermatapencaharian dengan cara yang benar,” demikian jelas Le Shi. “Dan selama proses pengumpulan kekayaan itu sedang berlangsung, jangan lupa akan anjuran Buddha untuk membaginya menjadi empat bagian, yakni dua bagian untuk pengembangan usaha, satu bagian untuk kebutuhan hidup, serta satu bagian untuk tabungan hari tua. Harus kita ingat, daya gunakan segala sesuatunya sesuai fungsi masing-masing. Kita lahir dengan potensi untuk membahagiakan semua makhluk, karena itu daya gunakan diri kita untuk berkarya memberi manfaat bagi makhluk lain. Demikian pula daya gunakan harta kita sesuai dengan fungsinya, yakni untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, sebab itu jangan lupakan pula menyisihkan sebagian dari pendapatan untuk kebajikan berdana,” demikian lanjut Le Shi. “Paman, tentang pembagian empat bagian yang juga meliputi berdana, bagaimana bisa dilakukan oleh orang yang pada dasarnya sudah cukup miskin?” Satu pertanyaan yang baik dari Wu Wo. “Harta materi itu ibaratnya air, demikian sebuah kata bijak berucap. Bila ia berupa segelas air, kau boleh meminumnya; bila berupa seember air, kau boleh menyimpannya di dalam rumah; tetapi bila berupa sebuah kolam atau sungai, maka belajarlah untuk membaginya dengan orang lain. Bila harta kita hanya sebanyak segelas air, memang cukup sulit untuk membaginya dengan orang lain, apalagi dengan orang banyak. Namun harus diingat, empat pembagian yang diajarkan Buddha itu tidak hanya berlaku bagi harta materi, tapi juga meliputi hal-hal non-materi. Sebagai misal, kejujuran yang kita sebutkan di depan, ia juga merupakan bagian dari pengembangan usaha atau karir, tabungan serta dana. Pun berdana tenaga, seperti yang telah kau lakukan, Wu Wo, murid andalan Bhiksu Wu Zhuo (Tiada Melekat), …” “Paman tahu …?” Wu Wo memutus ucapan Le Shi. “Siapa yang tidak mengenal dua nama besar dalam Buddhisme dan dunia rimba hijau ini.” Senyum kecil tersungging di sudut bibir Le Shi. “Mengulurkan tangan bagi mereka yang membutuhkan, memberi wejangan bagi mereka yang haus akan Dharma, berpartisipasi dalam kegiatan kemanusiaan ataupun pendirian vihara, membantu tugas sehari-hari vihara ataupun para bhiksunya, berdonor organ tubuh dan lain sebagainya, ini semua juga tergolong dalam empat bagian itu.” “Ya, memang benar, ajaran Buddha adalah ajaran mulia yang hidup dalam setiap relung kehidupan kita,” Wu Wo sangat kagum dengan penjelasan yang demikian indahnya itu. “Buddha Dharma bukan seperti yang disalah mengerti oleh masyarakat awam, bukan hanya sekedar membakar dupa dan meminta-minta. Buddha mengajarkan kita mengenali hakekat hidup sejati. Hidup ini adalah fenomena semu yang dalam Sutra Intan dikatakan bagai mimpi, ilusi, busa, bayangan, embun dan kilat. Demikian pula kesenangan dan kegembiraan yang dinikmati oleh lima indera, semua adalah semu,” Le Shi berhenti sejenak untuk menghirup teh. “Tetapi dari semua yang semu ini ada satu yang nyata, yakni kebahagiaan yang diperoleh dari upaya mulia penerapan kebijaksanaan dan welas asih bagi semua makhluk.”
“Karena itu Paman banyak melakukan kegiatan kemanusiaan.” Wu Wo merasa perjalanannya kali ini tak sia-sia. “Kalau boleh tahu apa kesulitan terbesar Paman selama melakukan kebajikan ini semua?” “Kau pasti tak percaya, kesulitan itu menampakkan diri dalam mimpi. Suatu malam seorang dewa muncul di hadapanku. Berikut ini percakapanku dengan dewa itu.” Dewa: “Le Shi, harta yang kau dapatkan dengan susah payah seharusnya kau tinggalkan bagi anak cucu. Dana yang kau lakukan selama ini akan menghabiskan hartamu.” Le Shi: “Sangat disayangkan bila hartaku hanya dinikmati oleh keluargaku.” Dewa: “Tak tahukah kau bahwa mereka yang gemar berdana akan masuk neraka?”
Le Shi: “Itu tidak sesuai dengan logika, pun bertentangan dengan Buddha Dharma.” Dewa: “Kau tidak percaya padaKu? Ketahuilah barang siapa yang tidak mempercayaiKu akan kukirim ke neraka yang panas.” Melihat Le Shi tidak percaya, sang Dewa menghentakkan kaki menampakkan pemandangan neraka. “Para penghuni neraka ini adalah mereka yang semasa hidupnya suka berdana dan tidak percaya padaKu. Kalau masih tak percaya, coba tanya mereka.” Le Shi bertanya: “Mengapa kau masuk neraka?” Penghuni neraka menjawab: “Karena gemar berdana dan tidak percaya pada Dewa.” “Lalu bagaimana dengan orang-orang yang menerima dana darimu?” “Mereka semua masuk surga menikmati keabadian bersama Dewa.” “Haha, inilah tujuanku menjadi siswa Buddha. Asal orang-orang yang kutolong naik ke surga dan menikmati kebahagiaan, apalah artinya bila aku masuk neraka. Siswa Buddha sejati tidak mengenal penderitaan dalam upaya membahagiakan makhluk lain. Aku sangat gembira, sangat gembira!” Dewa terpaku tak tahu harus berkata apa mendengar teriakan Le Shi. Dewa terharu melihat ketulusan Le Shi. Fenomena neraka lenyap dan berganti menjadi suasana alam surgawi. “Le Shi, kau telah berhasil melalui ujian terberat. Ternyata kau tak goyah menghadapi ancaman neraka dan tak terpancing iming-iming kenikmatan surgawi. Benar seperti yang dikatakan Buddha, kebajikan akan mendatangkan kebahagiaan, sedang semangat ‘hanya demi kebahagiaan semua makhluk, tidak mencari kebahagiaan diri sendiri’ yang kau miliki menunjukkan jiwa tanpa ‘aku’. Aku dan para Pelindung Dharma yang lain akan selalu melindungi kebajikan yang kau lakukan.” Le Shi mengiringi lenyapnya Dewa dengan ucapan Amituofo.
“Sungguh luar biasa, hari ini saya benar-benar berjumpa dengan seorang Bodhisattva Hidup. Hendaknya saya diizinkan membantu dan mempelajari kegiatan kemanusiaan yang Paman lakukan.” Sebulan kemudian Wu Wo meninggalkan rumah Le Shi melanjutkan pengembaraan Dharmanya.
Ide cerita diambil dari artikel di salah satu internet Buddhis Tiongkok.
Home »
Kisah-Kisah Kebijaksanaan China Klasik
» AKU GEMBIRA MASUK NERAKA
AKU GEMBIRA MASUK NERAKA
Written By Regina Kim on Sabtu, 09 Juli 2011 | 16.57
Diberdayakan oleh Blogger.
Posting Komentar