Alkisah, ada seorang pengembara yang suka banyak bicara. Suatu hari, ia menempuh perjalanan yang mengharuskannya melewati sebuah hutan belantara yang jarang sekali diinjak manusia. Ketika sampai di tengah-tengah hutan, tiba-tiba terdengar suara orang berbicara. Pengembara kaget dan takut, tetapi juga penasaran. "Suara siapakah itu di tengah-tengah hutan yang sepi begini?" bisiknya dalam hati. Lalu, dengan hati-hati ia mencari asal suara tadi. Akhirnya ia temukan suara tadi berasal dari tengkorak manusia di bawah pohon besar. Pengembara itu terkejut bukan main.
Dengan rasa tidak percaya, ia beranikan diri mendekat dan bertanya, "Hai tengkorak ... Bagaimana kamu bisa sampai di tengah-tengah hutan belantara ini?" Di luar dugaan, si tengorak itu bisa mendengar dan menjawab pertanyaannya. "Pengembara ... yang membawa aku ke sini adalah mulut yang banyak bicara," kata si tengkorak. Mengetahui tengkorak bisa mendengar dan berbicara, si pengembara pun jadi sangat terhibur dan meneruskan mengobrol tentang segala hal yang menarik hatinya. Ia merasa menemukan pengalaman yang benar-benar aneh dan sangat menakjubkan.
Saat keluar dari hutan, si pengembara terus teringat dengan kejadian aneh yang dialaminya. Dengan penuh semangat, ia bercerita tentang tengkorak yang bisa bicara kepada setiap orang yang dijumpainya. Tentu saja, tidak ada seorang pun yang mau percaya. Malah ada yang mencemooh ceritanya. "Sinting! Mana ada tengkorak yang bisa bicara!"
Sekalipun tahu tidak ada yang mau percaya dengan ceritanya, pengembara itu tetap saja bercerita kepada banyak orang lainnya.
Akhirnya, cerita tengkorak yang bisa berbicara itu pun terdengar sampai ke istana. Singkat cerita, baginda raja tertarik dan kemudian mengundang pengembara itu ke istana. Mulailah si pengembara bercerita. "Baginda, hamba bertemu tengkorak yang bisa bicara. Mungkin baginda bisa menanyakan tentang masa depan kerajaan ini kepada tengkorak itu," bujuk si pengembara. Karena rasa ingin tahu, raja pun mengajak para pengawalnya dan meminta si pengembara menunjukkan jalan ke hutan dimana tengkorak itu berada.
Setibanya di sana, pengembara dengan begitu percaya diri langsung bertanya kepada si tengkorak. "Hai tengkorak, bagaimana kamu bisa sampai di hutan ini?", kali ini tengkorak itu diam membisu. Raja dan pengawal tampak tidak sabar menunggu. Ketika pengembara itu mengulang pertanyaannya beberapa kali denga suara yang lebih keras, tengkorak itu tetap diam membisu. Yang terdengar hanya desau angin dan gaung suara si pengembara.
Melihat hal itu, para pengawal menatap raja dengan pandangan geli. Merasa telah diperdayai, sang raja menjadi murka. Ia memandang marah si pengembara. "Sebenarnya aku tidak percaya omonganmu. Kamu kira aku ini raja yang bodoh! Aku datang ke sini untuk membongkar kebohonganmu. Dan sebagai hukuman atas bualanmu selama ini, kamu harus bertanggung jawab dan membayar harganya!"
Raja pun langsung memerintahkan hukuman penggal kepala. Setelah dipenggal, kepala si pengembara diletakkan di samping tengkorak tadi. Begitu raja dan para pengawalnya pergi meninggalkan tempat itu, tiba-tiba si tengkorak bersuara. "Hai Pengembara, bagaimana kamu bisa sampai di hutan ini?" Dan kepala si pengembara pun menjawab, "Yang membawa aku ke sini adalah mulut yang banyak bicara ..."
RENUNGAN:
Memang, sering kali pertengkaran, kesalahpahaman dan permusuhan besar muncul gara-gara omongan yang tidak pada tempatnya. Mereka yang suka mengumbar omongan, sering jadi kurang waspada sehingga mudah menyinggung, merendahkan atau melecehkan orang lain. Sekilas, masalah seperti ini tampak sepele, tetapi bisa fatal akibatnya.
Alangkah baik, apabila setiap saat kita bisa mengendalikan diri, tahu kapan dan mengapa harus berbicara. Bahkan terkadang bisa diam adalah sikap yang paling bijak, seperti pepatah dalam bahasa Inggris, silent is golden, diam adalah emas.